Minggu, 31 Agustus 2008

Partai Politik dan Dinasti Keluarga

(Media Indonesia)

Membaca berita politik di surat kabar akhir-akhir ini membuat saya sedih, gundah, dan marah. Semua perasaan itu bercampur aduk menjadi satu karena satu pokok persoalan: pencalonan anggota legislatif mengganggu jalannya proses demokrasi. Tidak saja dalam daftar penyusunan caleg, partai masih mempertahankan elite-elite lama, tetapi juga mengikutsertakan sejumlah kerabat (keluarga) dari para petinggi partai, pengusaha, mantan pejabat, dan pejabat yang sedang berkuasa. 


Anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Edhi Baskoro, menjadi caleg dari Partai Demokrat. Puan Maharani, anak mantan Presiden Megawati dicalonkan dari PDIP. Dave Laksono, anak Ketua DPR Agung Laksono, menjadi caleg dari Partai Golkar. Agus Haz, putra mantan Wakil Presiden Hamza Haz, caleg PPP. Ikrar Fatahilah, putra AM Fatwa, dicalonkan PAN, dan masih banyak lagi daftar nama kerabat dekat para penguasa, pengusaha, dan elite partai. 

Apa yang menyebalkan dari fenomena ini? Ini makin menegaskan bahwa kekuasaan politik memang memabukkan. Kekuasaan ibarat candu. Celakanya, sirkulasi kekuasaan hendak diputar di lingkungan kerabat (keluarga). 

Lalu apa motif utama mereka menyambung tradisi berkuasa? Sekadar mengabdi kepada rakyat? Saya kira kita patut ragu. Bisa jadi motifnya sangat diwarnai kehendak memperpanjang gerbong kapitalisme keluarga. Kekuasaan menjadi instrumen untuk melobi proyek, memuluskan negosiasi, mempermudah akses ekonomi, dan meraup keuntungan sebesar-besarnya sehingga yang kemudian terbangun adalah dinasti keluarga. Ini cara yang salah, sehingga Pemilu 2009 nyaris tidak akan membawa perubahan berarti. Karena pemilu bukan menghasilkan wakil rakyat yang serius berjuang untuk rakyat, tapi sebaliknya: hanya bernafsu meneruskan tradisi kekuasaan keluarga. 

Mestinya, kriteria rekrutmen politik didasarkan pada pertimbangan yang berimbang: kemampuan personal, jejaring, dan kaderisasi. Tiga unsur utama ini harus menjadi patokan seseorang direkrut menjadi calon wakil rakyat. Bukan karena faktor kedekatan, uang, apalagi sekadar pertimbangan keluarga. Sebab, partai politik bukan perusahaan keluarga sehingga bisa dengan enteng mewariskan kedudukan dari ayah ke anak, atau dengan muda menempatkan kerabat dalam posisi-posisi strategis. 

Ini namanya pembajakan demokrasi karena cara pengelolaan partai seperti mengurus perusahaan keluarga. Di negara-negara demokrasi baru seperti kita, tak jarang partai politik menjadi biang kerok bagi proses demokratisasi. Para teoretisi demokrasi selalu menjadikan partai politik sebagai sumbu atau poros politik. Tak lain dan tak bukan karena dalam mekanisme sistem perwakilan politik, partai politik adalah sarana rekrutmen. Namun di sinilah persis masalahnya. Partai politik kerap terjebak pada oligarki dan hegemoni. 

Sejak satu dasawarsa proses demokratisasi berlangsung, kita harus memberi garis bawah dengan tinta tebal: partai politik berpotensi membajak transisi demokrasi. Asumsi dasarnya tiga. Pertama, partai politik dikepung oleh kepentingan pribadi, kelompok, dan kerabat. Kedua, partai politik bukan memutus rantai korupsi tapi menyambung dan menyuburkan perilaku koruptif para elite politik. Dan ketiga, partai politik sekadar sarana berkuasa. Akibatnya, rakyat tidak menaruh kepercayaan dan harapan kepada partai. Padahal, salah satu kunci mempercepat transisi demokrasi adalah memberikan kekuasaan kepada elite-elite partai yang bermoral, berdedikasi, berkomitmen, dan berkemampuan. Bukan malah menjadikan partai sebagai instrumen dinasti keluarga. 

Ketika Eropa Timur melakukan transformasi politik dari komunisme ke demokrasi sejak tahun 1989, Paul G Lewis dalam Political Parties in Post-Communist Eastern Europe, 2000, tidak sepenuhnya meyakini bahwa partai politik bisa mempercepat gerak transisi. Studi itu dilakukan di 19 negara Eropa Timur, seperti Polandia, Bulgaria, Hongaria, Ukraina, Moldova, Republik Ceko, dan sebagainya. Hasil yang tunjukkan tidak jauh beda dengan situasi politik yang saat ini kita rasakan. Menyerahkan sepenuhnya proses demokratisasi kepada partai politik sama artinya dengan membiarkan perusakan demokrasi. Karena dalam kondisi tertentu, partai bisa membelokkan proses politik demokratis ke yang tidak demokratis. Itu sudah mulai tampak gejalanya. Partai dikepung oleh kultur dinasti keluarga. 



Oleh Abdul Gafur Sangadji, Analis dan dosen FISIP UI, Jakarta 



Agama, Politik, dan Pemilu


AKHIRNYA, terpilih 38 partai politik (parpol) dan enam parpol lokal Aceh sebagai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Masa kampanye juga telah dimulai, hingga sembilan bulan ke depan. Antara parpol yang satu dan lainnya akan berlomba kreatifitas dalam mengusung materi dan strategi kampanye. Satu diantara sekian materi kampanye yang dipastikan akan akan dinilai memiliki nilai strategis oleh beberapa parpol adalah isu keagamaan. Agama menjadi sebuah isu yang menjanjikan untuk dijadikan sebagai materi kampanye. Adapun ditinjau dari aspek strategi, penggunaan isu agama memiliki nilai sensitifitasnya tersendiri bagi sebagai massa calon pemilih pada pemilu nanti. 

Secara substansial, penggunaan agama sebagai isu kampanye dapat diekspresikan dalam dua bentuk. Dua bentuk ini, pada konteks yang lebih luas sekaligus bersinggungan dengan relasi antara agama dan politik. Dua bentuk yang dimaksud adalah: Pertama, dengan 'berbicara' tentang agama. Dalam konteks ini, agama menjadi salah satu materi kampanye politik yang diangkat sekaligus dimanfaatkan oleh sebuah parpol. Penggunaan isu agama dinilai memiliki efektifitas dalam menjaring simpati politik atau suara dari massa pemilih. Ada dua pilihan yang bisa digunakan, jika sebuah parpol memilih untuk 'berbicara' soal agama: (1) dengan menegaskan afiliasi politiknya terhadap sebuah ajaran agama tertentu sebagai basis ideologisnya. Dalam konteks ini, sebuah parpol menjadikan agama tertentu sebagai ideologi politiknya, dengan harapan bahwa hal itu menjadi salah satu daya tarik para penganut agama yang bersangkutan untuk menjatuhkan pilihan politiknya pada parpol tersebut. Misalnya, parpol yang menganut agama Islam atau Kristen sebagai basis ideologi politiknya. Jagad politik Indonesia memperlihatkan lahirnya parpol Islam sebagai salah satu contoh dari fenomena ini. Jelas, parpol seperti ini membidik umat Islam sebagai target massa pemilihnya secara khusus, atau siapapun yang setuju dengan konsep ideologi politik Islam yang mereka tawarkan. (2) Sebuah parpol dapat 'berbicara' soal agama dengan cara menegaskan prinsip non-afiliasinya terhadap sebuah agama tertentu. Parpol tersebut menegaskan bahwa ideologi politiknya berbasis pada prinsip pluralitas keagamaan. Dalam hal ini, parpol tersebut juga memanfaatkan isu agama sebagai materi kampanye, namun dalam konteks yang sebaliknya dari yang dilakukan oleh parpol jenis nomor satu di atas. Fenomena parpol yang berbasis pada prinsip nasionalisme (parpol nasionalis), merupakan contoh konkretnya di perpolitikan Indonesia. Dalam sepak terjang politiknya, baik kampanye maupun kebijakan, parpol model ini menegaskan ketidakberpihakannya pada salah satu agama, melainkan pada semua agama melalui proteksi-proteksi politik yang ditawarkan. Dengan ini, mereka berharap dapat menjaring massa pemilih yang berprinsip nasionalis-pluralis. 

Jadi, walaupun bertolak belakang dalam hal penegasan ideologi politiknya, dua model parpol di atas sama-sama menggunakan agama sebagai materi sekaligus strategi kampanye. Politisasi agama, dalam pengertiannya yang substansial, pada dasarnya sama-sama dilakukan oleh dua model parpol di atas. Hanya saja, dalam konteks kepentingan serta visi yang tidak sama. Yang satu dengan ideologisasi satu agama, sementara yang kedua dengan ideologisasi tidak pada satu agama. 

Kedua, dengan 'diam' soal agama. Jika pada nomor satu di atas, ekspresinya adalah dengan 'berbicara' agama, maka pada model yang kedua ini sebaliknya: parpol 'tutup mulut' soal agama. Isu agama tidak diakomodasi ke atas panggung politik, meskipun dalam konteks visi nasionalisme, sebagaimana yang dilakukan parpol model kedua di atas. Disini, tidak ada tempat untuk agama untuk mempertontonkan atraksi tariannya di lantai dansa politik, demi merebut massa pemilih. Dengan kata lain, dalam konteks ini tidak terjadi tindak politisasi agama. Pertanyannya, pada tataran praktis mungkinkah itu dilakukan? 

Ada dua hal mendasar yang bisa dijadikan petunjuk untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, secara teoritis, hal itu mungkin dilakukan pada sebuah negara yang menganut ideologi politik ateis. Dengan bertumpu pada prinsip tidak bertuhan atau beragama, maka sebuah parpol atau politik sebuah negara dengan sendirinya akan 'diam' terhadap hal-hal yang menyangkut soal agama. Itu ideal teoritisnya. Namun, bagaimana kemungkinannya pada tingkat realitas? Apakah negara ateis bisa dijadikan contohnya? Untuk menjawabnya, poin kedua berikut ini mungkin akan membantu. Kedua, 'diam' soal agama, secara substansial merupakan ekspresi 'berbicara' tentang agama. Dengan memilih untuk tidak berbicara, pada dasarnya seseorang telah mengirimkan sebuah pesan. Inilah premis fundamentalnya. Jadi, ketika ekspresi yang ditampilkan oleh sebuah parpol atau perpolitikan sebuah negara terkait soal agama adalah dengan 'diam', maka pada saat yang sama itu menyiratkan sebuah 'pembicaraan' tentang agama. 

Kesimpulannya, dalam konteks dan bentuknya yang bagaimanapun, agama selalu menjadi benda yang memikat dan seksi untuk dijadikan komoditas politik. 



Politik Indonesia dan agama 



Perpolitikan Indonesia merupakan salah satu jagad yang sangat merasakan betapa agama merupakan komoditas yang sangat menjanjikan jika dijual di pasar politik. Sejarah perpolitikan negeri ini telah menunjukkan betapa agama memainkan gerakan-gerakan yang atraktif di pentas dansa politik. Era Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi mempertontonkan akrobatik-akrobatik agama dengan gayanya sendiri. Masa Orla memperlihatkan bagaimana agama (dalam hal ini Islam) berupaya meraih puncak tertinggi politik kekuasaan, namun gagal dan berujung pada tersungkurnya agama dari pentas akrobatik politik dan kemenangan diraih kalangan nasionalis. Pada era ini, dua kelompok politik yang menggunakan dua model 'berbicara' sebagaimana dijelaskan di atas, bertarung. Yang satu 'berbicara' dengan mengideologisasikan Islam, sementara yang satu lagi nasionalis. 

Memasuki masa Orba, agama (Islam) merasakan dua horison yang berbeda. Pada masa awal berkuasa, Presiden Soeharto benar-benar menepikan peran agama (ulama) dari pentas politik, sehingga praktis seperti dikurung di sangkar ritual-seremonialnya. Dalam konteks ini, Soeharto menggunakan model yang kedua diatas, 'berbicara' tentang agama dengan cara tidak memihak pada salah satu agama sebagai basis ideologi politiknya. Namun, separuh berjalan masa kekuasaannya, ada perlakuan yang berbeda terhadap (kalangan) Islam. Memang, Soeharto tidak sampai pada taraf 'berbicara' dalam konteks menjadikan agama (Islam) sebagai ideologi politik. Namun setidaknya ada pemberian ruang yang lebih leluasa pada agama (ulama) dalam berkiprah di pentas politik. 

Akhirnya, era reformasi mempertontonkan sebuah tarian yang paling atraktif, akrobatik, dan bebas oleh agama di panggung politik. Pada masa yang diidentikkan dengan era kebebasan ini, agama benar-benar mendapat keleluasaan. Dua model 'berbicara', sebagaimana dipaparkan di atas, benar-benar terekspresikan pada masa ini. Bahkan, ada gejala pertarungan antara keduanya dalam kelihaian untuk menari di pentas politik dengan memanfaatkan ritme (perangkat dan struktur) politik yang tersedia. Dalam batas tertentu, ada kesamaan fenomena dengan masa Orla (pasca-kemerdekaan) dahulu. Namun tentunya dalam konteks yang berbeda di berbagai sisinya. 

Sekadar memberikan ilustrasi fakta di era reformasi. Beberapa tahun yang lalu, wacana haramnya perempuan menjadi presiden (pemimpin) menjadi salah satu materi, sekaligus strategi, kampanye yang digunakan oleh sebuah faksi politik tertentu (parpol islami) untuk bersaing dengan faksi lain (nasionalis-pluralis) yang justru mengusung visi sebaliknya (Islam tidak melarang perempuan untuk jadi presiden). Dalam konteks itu, walaupun dibedakan oleh visi dan kesimpulan pandangan yang bertolak belakang, namun baik faksi yang pertama maupun kedua sama-sama 'berbicara' soal agama. Dan, sekali lagi, dalam pengertian yang paling substansial, keduanya pada dasarnya sama-sama memolitisasi agama sebagai materi dan strategi politik. Ini bukti kuat dan konkret bahwa agama benar-benar bisa menjadi mitra sejati di belantara politik. Dan bukti ini menjadi semakin kuat ketika, ironisnya, dalam kasus wacana presiden perempuan tersebut, pada akhirnya salah satu faksi yang sebelumnya mengharamkan presiden perempuan, pada akhirnya kadernya justru bersedia menjadi wakil presiden dari presiden perempuan yang dimaksud. Anomali, memang. Ah, agama(wan) memang lihai berakrobat dan menari atraktif di lantas dansa politik. Siap-siap melihat atraksinya di Pemilu 2009! 



Oleh Muhammad Ja'far, Peneliti Pustaka LP3ES


Membaca Fenomena Artis-Politisi


Publik mungkin akan banyak bertanya mengapa kini banyak artis menjatuhkan pilihan untuk maju dalam kontestasi politik, baik pada kuasa eksekutif maupun legislatif? Atau mengapa partai politik kini banyak menjadikan artis sebagai figur politik yang banyak 'dijual' dalam sejumlah kontestasi politik? 

Setelah Saiful Jamil (artis penyanyi) maju menjadi bakal calon wakil wali kota Serang, Banten, dari pasangan Kirtam, kini Primus Yustisio (artis film) memutuskan hal serupa sebagai bakal calon bupati untuk Pilkada Subang, Jawa Barat, periode 2008-2013. Dia didampingi oleh bakal calon wakil bupatinya, Agus Nurani, yang berlatar belakang militer dan kini menjabat Kepala Desa Blanakan. 

Beberapa minggu terakhir, publik juga disuguhi dengan berita politik mengenai majunya sejumlah artis sebagai calon anggota legislatif. Partai seperti Golkar, PDIP, hingga PAN tertarik untuk mengusung mereka. 

Ada dua faktor konkret yang bisa kita gunakan untuk menjawab pertanyaan publik di atas. Pertama, bahwa kuatnya syahwat politik para artis untuk maju sebagai pasangan calon dalam sejumlah pilkada sangat kuat diinspirasi oleh pengalaman politik di lapangan sejumlah pilkada di Indonesia. Majunya sejumlah artis sebagai calon pasangan dalam pengalaman itu berbuah kemenangan. 

Publik pun diingatkan kembali dengan kemenangan manis Rano Karno (sebagai wakil bupati) dan Dede Yusuf (sebagai wagup), masing-masing pada pemilihan Kabupaten Tangerang Banten dan Provinsi Jawa Barat beberapa waktu lalu. 

Kemenangan dua artis film di atas seakan menghipnosis kekuatan-kekuatan politik, baik melalui jalur partai maupun independen. Bahkan publik pun seakan melupakan pengalaman politik pahit lain dari kegagalan seorang artis dalam pilkada, yakni artis komedian Qomar yang gagal meraih kemenangan pada pilkada Indramayu. 

Kedua, bahwa popularitas menjadi kata kunci bagi kuatnya syahwat politik para artis untuk maju dalam pilkada, dan atau kuatnya kehendak politik sejumlah kekuatan politik untuk mengusung artis sebagai calon yang dipertarungkan. Di tengah macetnya mesin politik partai-partai besar dalam kontestasi politik sejumlah pilkada, figur calon yang berlatar belakang artis menjadi signifikan sebagai penderek suara pemilih. Popularitas menjadi modal paling besar dari figur artis. 

Dalam konteks inilah, apa yang belakangan dalam literatur politik dikenal dengan istilah pop politics (lihat George W Shepherd, Popular Politics, 1998) menemukan wadah penyemaiannya. Anggitan pop politics tersebut menandai perkawinan antara dunia pop dan politik. Artis-politisi (atau politisi yang berlatar belakang artis) merupakan sebuah eksemplar par excellent dari perkawinan dua dunia dimaksud. Jika dunia pop telah bertemu dengan politik, hasilnya adalah sukses dalam kontestasi kuasa politik. 



Parameter 

Tentu tidak semua latar belakang artis berbuah kesuksesan. Latar belakang artis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah latar belakang artis yang menjadi kiblat (trendsetter) dunia pop bagi masyarakat. Sebagai contoh konkret, mengapa latar belakang keartisan yang sama berakhir dengan cerita yang berbeda seperti dalam kasus Rano, Dede, dan Komar di atas? 

Parameternya jelas. Yakni keartisan yang bisa menjadi trendsetter bagi masyarakat. Bukan sekadar keartisan semata. Artis film dan musik lazim menjadi bagian penting dari lahirnya artis trendsetter dalam budaya pop. Selain Rano dan Dede sebagai contoh sukses artis film untuk konteks lokal Indonesia, kemenangan Arnold Schwarzenegger pada pemilu recall gubernur di California pada tahun 2003 juga menjadi bukti penting dari kekuatan artis film. 

Cerita sukses artis film dalam kontestasi kuasa politik di atas menjadi penanda pentingnya budaya pop bagi upaya untuk melihat kecenderungan perilaku pemilih. Sebab, budaya pop mendorong munculnya komodifikasi gaya hidup tertentu. Karena itu, simbol telah dijadikan komoditas budaya, dan selanjutnya gaya hidup. Melalui penciptaan gaya hidup populer ini, budaya pop memiliki kapasitas besar untuk menjadi trendsetter. 

Budaya pop telah menjadi arus baru kehidupan populer publik. Arus sosio-kultural ini cenderung menyebabkan para pelaku budaya pop yang berkapasitas besar sebagai trendsetter, seperti artis film dan musik, untuk memiliki daya tawar dan signifikansi politik yang tinggi menyusul popularitasnya yang tinggi pula. Ujungnya, mereka menjadi figur baru alternatif di tengah karut-marutnya praktik penyelenggaraan kuasa dan kewenangan politik yang terjadi. 

Karena itulah, penggunaan identifikasi pasangan Khofifah-Mudjiono dengan lagu Ayat-ayat Cinta dan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf dengan lagu Munajat Cinta pada pilgub Jatim 23 Juli 2008 harus diletakkan dalam konteks pembacaan pop politics. Pesannya adalah kuatnya budaya pop sebagai trendsetter dan pemantik dukungan politik publik. 



Tantangan 

Namun perlu menjadi catatan bersama, popularitas yang diderek oleh dunia pop keartisan akan menghadapi tantangan yang luar biasa berat jika di suatu wilayah terjadinya kontestasi kuasa politik itu terdapat kekuatan-kekuatan politik tradisional yang masih kuat mencengkeram. Bentuknya bisa saja kekuatan tradisional etnik-monarkis maupun tradisional keagamaan. 

Kasus Yogyakarta dan Jawa Timur adalah sebagai contohnya. Hemat saya, kekuatan tradisional etnik-monarkis di Yogyakarta akan cenderung sangat sulit untuk ditembus oleh popularitas yang berbasis keartisan. Begitu pula Jawa Timur yang masih menjadi basis kekuatan tradisional keagamaan, di mana kiai masih memiliki signifikansi politik yang tinggi. 

Kemenangan pasangan Muhammad Zainul Majdi, yang lebih dikenal dengan Tuan Guru Bajang, bersama pasangannya Badrul Munir yang diusung oleh PKS dan PPP pada pilgub NTB awal Juli 2008 lalu menjadi bukti lain dari kuatnya signifikansi politik kekuatan tradisional keagamaan. Dalam kultur sosiologis masyarakat NTB, posisi sosio-kultural Tuan Guru tak tertandingi oleh kekuatan sosio-kultural lain. Karena itu, majunya Tuan Guru dalam kontestasi politik merupakan separuh modal kemenangan. 

Di luar wilayah politik yang menjadi basis dari kekuatan tradisional yang masih mengakar, baik etnik-monarkis maupun keagamaan, popuralitas yang berbasis keartisan bisa menjadi alternatif bagi pendulangan suara politik. Dan karena itu pula, Saiful Jamil dan Primus Yustisio akan maju masing-masing dalam pilkada Serang dan Subang. Di wilayah yang kultur sosiologisnya tidak dicengkeram kuat oleh tantangan kekuatan tradisional seperti halnya Yogyakarta, Jawa Timur, dan NTB sebagaimana dijelaskan di atas, akankah keduanya mengikuti jejak manis kedua artis pendahulunya, Rano Karno dan Dede Yusuf? Ataukah akan mengikuti jejak pahit Qomar? Kita tunggu saja. 



Oleh Akh Muzakki, Kandidat PhD di University of Queensland, Australia


Sabtu, 30 Agustus 2008

Michelle Obama Berpidato sebagai Ibu Negara


Michelle Obama

Selasa, 26 Agustus 2008 | 14:15 WIB

NEW YORK, SELASA- Senin malam tadi adalah malam milik isteri calon presiden AS dari Partai Demokrat, Michelle Obama. Ia mendapat kesempatan untuk menyampaikan pidato pada hari pembukaan pertemuan akbar Partai Demokrat, yaitu Democratic National Convention, yang berlangsung di Denver, Colorado.

Peristiwa tersebut dinilai sebagai kesempatan yang sangat baik bagi Michelle untuk memperkenalkan dirinya lebih dalam sebagai calon ibu negara AS --juga untuk terus mendongkrak citra positif tentang suaminya, Barack Obama.

Dengan mengenakan baju berwarna biru-kehijauan, Michelle menggambarkan dirinya tak lebih dari layaknya perempuan biasa, yaitu memiliki posisi sebagai anak perempuan, saudara, isteri, dan ibu.

Ia juga mengajak publik Amerika untuk secara sekilas melihat kehidupannya dan Obama sebagai sebuah keluarga kulit hitam --yang mungkin akan menjadi keluarga presiden AS pertama kalinya, dengan menceritakan kehidupan keluarga mereka yang dikatakannya memiliki nilai-nilai dan mimpi yang sama dengan keluarga-keluarga Amerika pada umumnya.

Saat sang isteri menyampaikan pidato, Obama sendiri tidak berada di gedung konvensi di Denver. Senator yang mungkin menjadi presiden kulit hitam pertama dalam sejarah AS itu tengah berada di Kansas City, Missouri, dan mengikuti berlangsungnya konvensi pada Senin malam melalui satelit.

Di panggung konvensi, Michelle ditemani kedua puteri mereka, yaitu Malia (10) dan Sasha (7). Kepada publik Amerika, Michelle mengatakan ia dan Obama merasa mempunyai kewajiban untuk menciptakan situsi dunia sedemikian rupa sehingga putera-puteri semua orang maupun anak-anak di manapun memiliki masa depan yang lebih baik.

"Saya cinta negeri ini," kata Michelle seperti yang disiarkan televisi nasional di Amerika.

Sebelum menyampaikan pidato, Michelle diperkenalkan kepada para peserta konvensi oleh kakak laki-lakinya yang berprofesi sebagai pelatih bola basket di sebuah universitas, Craig Robinson, sebagai sosok yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap kehidupan keluarga.

Sebagai ilustrasi, Robinson mengatakan Michelle hafal dialog-dialog yang muncul di Brady Brunch, yaitu acara televisi yang menceritakan kehidupan keluarga kulit putih campuran.

Soal Obama, Michelle mengungkapkan bahwa setelah lebih dari 1,5 tahun mengikuti kampanye suaminya menjadi calon presiden AS, ia merasa bahwa Obama tetap tidak berubah, yaitu masih menjadi pemuda yang membuatnya jatuh cinta 19 tahun yang lalu. Ia menyebut Obama sebagai kakak, mentor, pelindung, dan teman hidup.

"Saya datang ke sini sebagai seorang isteri yang mencintai suaminya dan percaya bahwa ia akan menjadi seorang presiden yang luar biasa," kata Michelle.

Setelah berpidato, Malia dan Sasha naik ke panggung, mendekat kepada ibu mereka. Saat itu, muncul wajah Obama di layar, yang melalui layanan satelit sempat menyapa mereka dari Kansas City.

"Sekarang Anda tahu mengapa dulu saya sering mengajaknya berkencan walaupun dia bilang ’tidak’ ... Tentunya kita menginginkan seorang presiden yang ’ngotot’," kata Obama --yang disambut tawa peserta konvensi.

Adegan lucu juga sempat terjadi, yaitu ketika Obama membuat kesalahan, menyebut dirinya sedang berada di St. Louis. Sasha mengoreksi sang ayah bahwa ia bukan berada di St. Louis melainkan di Kansas City.

Sepanjang waktu berpidato, salah satu momen tepuk tangan meriah yang didapat Michelle adalah ketika ia menyampaikan penghargaan kepada Hillary Clinton, mantan ibu negara yang juga senator asal New York dan mantan saingan Obama dalam masa-masa kampanye sebagai calon presiden dari Partai Demokrat.

Dukungan Keneddy

Konvensi nasional Partai Demokrat akan berlangsung selama empat hari dan akan menentukan secara resmi calon presiden AS dari Partai Demokrat. Salah satu sosok yang mendapat perhatian besar pada pembukaan konvensi hari Senin adalah Edward M Kennedy, senator yang sedang dalam perawatan karena mengidap tumor otak.

Edward Kennedy, yang hadir di konvensi tersebut, mengajak teman-temannya sesama pejabat di Partai Demokrat untuk bersatu mendukung Obama menuju kursi kepresidenan.

Obama, yang pada pekan lalu telah menunjuk Senator Joseph Biden menjadi pasangannya sebagai calon wakil presiden akan menghadapi calon dari Partai Republik untuk bertarung dalam Pemilu Presiden AS bulan November mendatang.

Interupsi Hillary Amankan Nominasi Obama

DENVER, KAMIS — Hillary Rodham Clinton berbuat apa saja untuk mengamankan penetapan Barack Obama sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat.

Hal ini terlihat ketika ia menginterupsi sesi pemanggilan satu per satu negara bagian untuk memberikan persetujuan terhadap nominasi partai, Rabu (27/8) atau Kamis waktu Indonesia. Ia minta seluruh delegasi di Konvensi Nasional Partai Demokrat itu untuk memilih Obama secara aklamasi dalam semangat persatuan dan tujuan untuk menang. Seluruh peserta setuju dengan suara bergemuruh.

Dengan iringan teriakan "Obama" dan "Ya kita bisa" dari seluruh undangan di Pepsi Center, kemenangan Obama dipatrikan.

Meski hasil konvensi itu tidak menawarkan kejutan apa-apa, arti pentingnya secara historis tidak terbantahkan. Konvensi itu mengakhiri pemilihan pendahuluan paling panjang dan ketat dalam sejarah. Obama, si pendatang baru dalam panggung politik, mengalahkan Hillary, mantan ibu negara yang sebelumnya lebih meyakinkan.

Konvensi ini juga berarti bahwa Obama, keturunan Kenya, berpeluang besar menjadi pemimpin sebuah bangsa yang hanya beberapa dekade lalu menolak hak suara orang kulit hitam.

Interupsi Hillary itu juga untuk mencegah para pendukungnya mengacau penetapan Obama itu. Sulitnya menyatukan kubu Obama dan Hillary terlihat dalam negosiasi yang amat hati-hati soal pemungutan suara untuk mengamankan nominasi Obama.

Hillary yang mengumpulkan hampir 18 juta suara selama pemilihan pendahuluan menghendaki pemungutan suara untuk menunjukkan bahwa ia punya banyak pendukung meski tidak bisa mengungguli perolehan Obama. Komprominya, Hillary masih bisa dinominasikan dan suara dihitung dengan wakil setiap negara bagian ditanya satu per satu. Jalan tengah ini memungkinkan terjadinya penyatuan partai.

Namun, kurang dari satu jam sebelum pemungutan suara, Hillary mulai menggelar pertemuan yang emosional dengan para delegasinya dan membebaskan mereka untuk memilih Obama. Banyak di antara mereka yang mengatakan, "Tidak!"

Indikasi penyatuan semakin tampak ketika anggota DPR Demokrat sekaligus pendukung kuat Hillary, Debby Wasserman Schultz, memberikan pidato dukungan untuk Obama. "Tak jadi soal di mana kita berdiri pada awal kampanye. Demokrat harus bersatu hari ini," kata Schultz.

Pertanyakan Patriotisme Obama, McCain Dikecam Kerry


DENVER, KAMIS - John Kerry, yang gagal sebagai calon presiden Amrika Serikat (AS) dari Partai Demokrat pada 2004, menilai bahwa Barack Obama siap mengambil-alih jubah kepresidenan, dan mengecam calon dari kubu Partai Republik, John McCain yang mempertanyakan jiwa patriotisme Obama.

Kerry, layaknya dikutip DPA pada Rabu (Kamis WIB), mengecam Mccain karena menggunakan "politik lama mengenai kekhawatiran dan fitnah" selama kampanye pemilihan umum, dan merujuk kepada komentar yang mempertanyakan apakah Obama menempatkan negara lebih penting dari politik pribadi.

"Tak seorang pun dapat mempertanyakan patriotisme Barack Obama," kata Kerry pada konvensi partai di Denver, Colorado, dan menyebut serangan McCain sebagai "tindakan putus asa".

Kerry masih memperlihatkan sebagian luka yang dialaminya dalam kampanye presidennya sendiri pada 2004. Tahun itu, satu kelompok aksi politik yang dikenal dengan nama "Swift Boat Veterans for Truth" menyiarkan iklan yang mencemarkan dinas militer yang dijalani Kerry di Vietnam, dan akhirnya menghadiahkan kemenangan dalam pemilihan umum untuk Presiden George W. Bush.

"Anda tak dapat memutuskan dinas siapa yang diperhitungkan dan siapa yang tidak," kata Kerry. Bendera Amerika "bukan milik satu ideologi ... itu milik semua rakyat Amerika".

Kerry, Rabu, mengikuti jajaran panjang tokoh Demokrat yang menyampaikan kemampuan Obama untuk memimpin Amerika Serikat di bidang kebijakan luar negeri, termasuk pidato yang mengundang reaksi dari mantan presiden Bill Clinton.

Kerry, Senator Massachusetts yang juga duduk di Komite Hubungan Luar Negeri di Majelis Tinggi dewan legislatif, mengecam Presiden George W. Bush dan Partai Republik karena membuat lemah apa yang dulu menjadi kesepakatan dalam masalah kebijakan luar negeri antara kedua partai, terutama dalam kasus serbuan ke Irak 2003.

"Tak pernah terjadi sebelumnya politik partisan jangka panjang begitu mengikis kekuatan kebijakan luar negeri bipartisan Amerika," kata Kerry.

McCain: Sarah itu Tabah, Berintegritas, dan Punya Rasa Sayang

WASHINGTON, SABTU — Calon presiden AS dari Partai Republik, John McCain, mematahkan semua perkiraan konvensional, Jumat, memperkenalkan perempuan Gubernur Alaska Sarah Palin sebagai pasangannya dalam pemilihan umum nasional Amerika.

"Dia adalah orang yang benar-benar diperlukan negeri ini untuk membantu saya memerangi kebijakan lama yang itu-itu saja di Washington dan negara ini," kata McCain di Dayton, Ohio, di hadapan 15.000 pendukungnya. "Ia memiliki ketabahan, integritas, cara berpikir yang baik, dan rasa sayang kuat pada kebaikan umum dan itulah yang kita perlukan di Washington hari ini," kata McCain.

Palin mengatakan kepada orang yang berkumpul, "Dipilih berisi tantangan besar. Saya mengetahui itu akan menuntut yang terbaik yang harus saya berikan dan saya tak bisa menjanjikan lebih dari itu."

Palin adalah gubernur aktif pertama yang mengalahkan gubernur yang masih menjabat, Frank Murkowski, dalam primari Partai Republik pada 2006 dan kemudian mengalahkan mantan gubernur Tony Knowles, dalam pemilihan umum.

Ia akan menjadi perempuan pertama yang dicalonkan sebagai wakil presiden sebagai anggota Partai Republik dan orang kedua yang dicalonkan sebagai wakil presiden, setelah Geraldine Gerraro dari Partai Demokrat pada 1984.

Palin juga akan menjadi orang Alaska pertama yang meraih tiket itu untuk partai mana pun. Ia mengukir namanya dalam partai dengan mendukung standar etik keras bagi politisi. Banyak pengulas mengatakan, dengan memilih Palin, McCain tampaknya melancarkan upaya terpadu untuk merangkul mantan pendukung Senator Hillary Clinton yang mungkin tak suka memilih Senator Barack Obama sebagai calon presiden Partai Demokrat.

Sarah Palin menikah dengan Todd Palin, operator produksi minyak di North Slope, Alaska. Mereka memiliki lima anak, termasuk seorang putra yang mendaftar ke Angkatan Darat tahun lalu.

Sarah Palin, yang tak banyak dikenal di luar Alaska, adalah anggota lama National Rifle Association yang berhaluan kanan dan ikut dalam kegiatan populer di negara bagian tersebut, yakni memancing dan berburu, demikian biografinya.

Palin telah memusatkan perhatian pada kebijakan sumber daya alam dan energi selama masa jabatan singkatnya, dan ia dikenal sebagai pendukung pengeboran di Arctic National Wildlife Refuge, satu posisi yang ditentang oleh McCain tapi didukung oleh banyak masyarakat madani Republik.

McCain dan Palin direncanakan secara resmi menerima pencalonan sebagai presiden dan wakil presiden pada Konvensi Nasional Partai Republik 1-4 September di St Paul, Minnesota.

Obama Menembus Batas Ras


Kamis, 28 Agustus 2008 | 22:30 WIB

DENVER, KAMIS - Barack Obama akan berdiri di hadapan 75.000 orang di sebuah stadion di Denver untuk menyampaikan pidato tentang nominasi presiden AS dari partai Demokrat yang diterimanya. Obama sekaligus menjadi pria kulit hitam pertama meraih nominasi presiden AS dari partai politik terkemuka.

Nominasi itu sekaligus menunjukkan kemampuan Obama menembus batas ras di AS, sebuah negara dimana banyak warga Amerika keturunan Afrika tidak diperkenankan turut dalam pemilihan presiden beberapa dasawarsa lalu. Pidato sambutan Obama terhadap nominasi Demokrat yang diterimanya bertepatan dengan hari penyampaian pidato "I Have a Dream” oleh Martin Luther King Jr 45 tahun lalu. Pidato itu berisi harapan pejuang hak sipil kulit hitam itu terhadap perkembangan hubungan antar ras di AS.

Berangkat dari sejarah penuh keprihatinan terhadap penindasan rasialis AS pada masa lalu, nominasi Obama merupakan sebuah taruhan bagi Demokrat untuk lolos sebagai pemenang dalam pemilihan presiden pada 4 November mendatang. Kenyataan ini mengemuka saat Demokrat berjuang keras menuju puncak kekuasaan di Gedung Putih dengan berjuang melawan calon presiden partai Republik, John McCain, senator veteran Arizona dan pahlawan perang Vietnam yang genap berusia 72 tahun Jumat (29/8) besok.

Pertaruhan besar dihadapi Obama yang masih dianggap hijau di panggung politik nasional dan baru pertama kali menjabat sebagai senat. David Axelrod, penasehat politik Obama, menerangkan rival John McCain itu akan menyampaikan pidato atas nominasi yang diterimanya untuk menguraikan pesan sederhana tentang perannya apabila terpilih sebagai presiden.

"Tujuan pidatonya adalah menyuarakan ke masyarakat Amerika mengenai tantangan yang kita hadapi dan apa yang kita perlukan untuk menyelesaikan masalah itu, serta pertaruhan melanjutkan misi yang kita canangkan saat ini," kata Axelrod. "Masyarakatlah yang nantinya menentukan faktor inspirasi dari pidato Obama tersebut," tambah Axelrod.

Dalam wawancaranya dengan sebuah stasiun radio di Pittsburgh Kamis ini, McCain menyampaikan kritik ringan menjelang pidato Obama. McCain mengaku menghormati dan mengagumi Obama, namun ia merasa Obama bukan pemimpin yang tepat bagi AS. "Saya rasa saya adalah orang yang tepat bagi AS apabila dilihat dari kebijakan, usulan dan pemikiran yang saya tetapkan," jelas McCain kepada KDKA News Radio.

Kejutan dari John McCain di Pengumuman Cawapres


Jumat, 29 Agustus 2008 | 23:36 WIB

DAYTON, JUMAT - Calon wakil presiden AS dari partai Republik John McCain membuat kejutan besar dalam pertarungan merebut kekuasaan di Gedung Putih dengan menunjuk Sarah Palin sebagai calon wakil presidennya. Sarah Palin merupakan gubernur perempuan pertama di negara bagian yang kaya akan minyak, Alaska.

"Gubernur Palin merupakan eksekutif tangguh yang telah membuktikan diri selama masa baktinya bahwa ia telah siap menempati tampuk kekuasaan tertinggi di Gedung Putih," kata kubu kampanye McCain."Palin telah menyatukan Republik dan Demokrat di masa kekuasaannya dan mempunyai catatan kesuksesan dalam menyampaikan perubahan dan pembaharuan yang diperlukan di Washington."

Penunjukkan Palin (44), seorang ibu dengan 5 anak, menandai resiko politik besar yang ditempuh McCain. Penunjukkan Palin dinilai akan menghambat upaya McCain untuk menjaring suara dari pendukung Hillary Rodham Clinton yang tak rela menyumbang suaranya bagi Barack Obama.

Palin yang baru pertama kali menjabat sebagai gubernur di Alaska sejak tahun 2006 tidak mempunyai pengalaman politik nasional. Namun kubu kampanye McCain berusaha membela keputusannya dengan menyatakan Palin, sebagai gubernur Alaska, mempunyai pengalaman luas di isu energi, isu penting dalam agenda pemilihan presiden di tengah melambungnya harga bahan bakar dan kelesuan ekonomi AS.

Obama: Sudah Cukup Era Partai Republik


"Standing Ovation" Hampir Setiap Menit

AP photo/KARL GEHRING / Kompas Images
Barack Obama berada di atas podium di Invesco Field, Stadion Mile High, Denver, Colorado, AS, pada hari keempat, yang merupakan hari terakhir Konvensi Partai Demokrat, Kamis (28/8).
Sabtu, 30 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Denver, Kamis - Barack Obama (47) mencatat sejarah sebagai calon presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat melalui pidato pengukuhan yang memukau sekaligus menyerang gencar John McCain dengan menggelontorkan program yang terinci dan membumi.

Pidato di Invesco Field, Denver, yang menutup Konvensi Nasional Demokrat, itu disaksikan sekitar 84.000 orang plus jutaan penduduk AS dan dunia lewat layar televisi. Selama berpidato sekitar 45 menit, suami Michelle (44) dan ayah dari Malia (10) serta Sasha (7) itu disambut standing ovation hampir tiap satu menit.

Senator Obama yang mewakili Negara Bagian Illinois itu dan calon presiden AS dari Partai Demokrat membeberkan program-programnya: potongan pajak untuk 95 persen keluarga buruh, penarikan pasukan dari Irak dalam 16 bulan, melepaskan ketergantungan minyak dari Timur Tengah dalam 10 tahun, dan menciptakan lima juta lowongan pekerjaan dalam 10 tahun di sektor energi terbarukan melalui investasi 150 miliar dollar AS.

Lulusan Columbia University dan Harvard Law School itu juga menyatakan siap menyandang jabatan panglima tertinggi, berunding tegas dengan musuh-musuh AS, dan menciduk Osama bin Laden. Tak lupa Obama menyampaikan sikap mendukung homoseksual, menyiapkan sistem pendidikan anak berkelas dunia, menaikkan gaji guru, memulihkan harga diri bangsa, dan menyiapkan paket jaminan kesehatan yang terjangkau rakyat.

Obama dengan lantang menantang McCain dari Partai Republik agar segera berdebat. Ia menyebut nama McCain 21 kali, mengecamnya sebagai sekadar penerus kebijakan-kebijakan Presiden George Walker Bush. ”Amerika, kita akan lebih baik dibandingkan dengan delapan tahun terakhir. Saat ini, pemilihan ini, menjadi kesempatan menjaga kelangsungan hidup janji Amerika. Kita ada di sini karena amat mencintai negara ini untuk menjadikan empat tahun ke depan tak lagi seperti delapan tahun terakhir. Pada 4 November kita harus berani mengatakan ’delapan tahun sudah cukup’,” ujarnya.

Pidato untuk semua

Pidato Obama itu semata-mata tak cuma ditujukan kepada warga Partai Demokrat. ”Malam ini saya sampaikan kepada rakyat Amerika, kepada pendukung Demokrat dan Republik serta independen di pelosok tanah air yang besar ini, cukup!” serunya lagi.

Pada malam sebelumnya konvensi diisi pidato politik mantan Presiden Bill Clinton, Senator John Kerry, dan calon wakil presiden Joe Biden di Pepsi Center yang hanya mampu menampung ribuan orang. Penyampaian pidato pengukuhan Obama dipindahkan ke Invesco Center, stadion American football yang dapat memuat sekitar 90.000 orang karena melonjaknya peminat.

Terakhir kali pidato pengukuhan di lapangan terbuka terjadi saat John F Kennedy mengucapkan pidato pengukuhan di Los Angeles tahun 1960. Pidato Obama terjadi pada tanggal yang sama dengan pidato historis Martin Luther King, ”I Have A Dream” di Washington 29 Agustus 1963. Namun, Obama enggan merujuk ke peringatan 45 tahun pidato King karena ia mau tampil sebagai calon presiden yang didukung semata-mata bukan hanya oleh kulit hitam.

Jika malam sebelumnya di Pepsi Center tak sedikit yang mengucurkan air mata karena terharu mendengarkan pidato-pidato membangkitkan harapan, malam berikutnya audiens bersemangat siap tempur melawan McCain karena Obama sukses membakar emosi para pendukungnya. Wajah-wajah sedih tergantikan muka-muka optimistis.

Panitia konvensi mengeluarkan dana sekitar 5 juta dollar AS untuk memeriahkan pidato itu, yang diramaikan pesta kembang api sekitar lima menit seusai pidato. Obama dan keluarga berdiri sejenak di panggung menyambut audiens yang mengelu-elukan mereka bersama Biden dan keluarga. Tampak pula adik tiri Obama, Maya Soetoro-Ng yang berayah asal Indonesia, Lolo Soetoro.

Kalangan Partai Demokrat menilai pidato Obama menjawab kritik yang menudingnya sebagai calon presiden yang miskin pengalaman untuk melindungi AS dari ancaman musuh. McCain dan kubu Partai Republik menyepelekan Obama sebagai pesohor yang pandai berpidato dan berasal dari golongan elite yang tak peduli terhadap kehidupan rakyat biasa.

Ia menjawab kritik itu dengan menceritakan kisah hidup ibunya yang antre kupon makanan gratis dan kakeknya yang berperang di bawah komando Jenderal George Patton di Perang Dunia II.

”Saya tak tahu apa yang ada di benak McCain tentang gaya hidup pesohor, tetapi beginilah saya menjalani hidup. Mereka pahlawan saya. Riwayat mereka membentuk saya. Dan, atas nama mereka, saya bertekad memenangi pemilihan ini dan memegang teguh janji-janji kita sebagai presiden Amerika Serikat,” ujarnya lagi.

Obama unggul

Sejumlah media massa di AS menganalisis, meski pidato Obama amat mengesankan, masih banyak warga yang belum mengenal dekat seorang Obama sekalipun kampanye telah berlangsung 20 bulan. Akan tetapi, paling tidak ia telah berhasil membuka ”saluran langsung” antara dirinya dan rata-rata orang Amerika.

Jajak pendapat Gallup, yang dilakukan tiga hari pertama konvensi, hasilnya memperlihatkan Obama unggul 48 persen dibandingkan McCain yang 42 persen. Namun, kenaikan persentase pascakonvensi merupakan gejala biasa. Persaingan masih relatif ketat karena McCain masih berpeluang mengungguli Obama setelah Konvensi Nasional Republik yang berlangsung pekan depan di St Paul, Minnesota.

McCain mengumumkan nama calon wakil presiden yang mendampinginya, Gubernur Alaska Sarah Palin (44) pada hari Sabtu WIB ini. Palin adalah perempuan calon wakil presiden kedua dalam sejarah setelah Geraldine Ferraro yang dipilih calon presiden Partai Demokrat, Walter Mondale, tahun 1984. (AP/AFP/Reuters/ The Washington Post/ The New York Times/BAS)

Obama Mengusik Pendukung Republik



AP PHOTO/CHUCK KENNEDY AND SCOTT ANDREWS / Kompas Images
Barack Obama melambaikan tangan kepada peserta Konvensi Partai Demokrat saat bersiap-siap menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai calon presiden di Denver, Kamis (28/8).

Denver, Jumat - Pidato calon presiden dari Partai Demokrat, Barack Obama, di Konvensi Partai Demokrat di Denver, Colorado, Kamis (28/8) waktu setempat, mengundang reaksi beragam. Dalam pidatonya, Obama menjanjikan banyak hal yang dianggap membawa perubahan di AS. Dia pun mengkritik lawan politiknya, kandidat dari Partai Republik, John McCain.

”Saya rasa Obama hanya menitikberatkan menyerang McCain dan kubu Republik serta berusaha mengantisipasi serangan balik dari kubu Republik dengan menanggapinya terlebih dahulu,” ujar Costas Panagopoulos, profesor politik dari Fordham University, setelah mendengarkan pidato Obama.

Dalam pidatonya, Obama berusaha membuat hubungan yang baik dengan kaum pekerja keras. Sebagian besar kerah putih Demokrat telah meremehkannya.

Obama juga menghubungkan kisah kehidupan yang keras dan kemiskinan yang didengarnya dari pendukungnya selama masa kampanye. Dengan berbekal itu, dia menyerang McCain.

Julian Zelizer, profesor sejarah pada Princeton University, mengatakan bahwa pidato Obama merupakan awal yang bagus untuk menangkap jutaan pemilih pendukung Hillary Clinton pada pemilu pendahuluan. Namun, Obama masih harus bertarung keras melawan McCain.

”Saya tidak merasa pidato itu akan membawa orang yang berseberangan dengannya menjadi beralih kepada Obama. Satu pidato yang juga sangat kuat adalah pidato Hillary,” katanya.

Pidato Obama membuat sejumlah pendukung Partai Republik berbalik ke Demokrat. Janell Mader (32), pendukung berat Republik, mengatakan pidato Obama telah menjawab pertanyaannya dan tampaknya dia akan memilih Obama pada pemilu mendatang.

”Semua kekhawatiran saya telah terjawab. John McCain harus berbuat sesuatu yang lebih hebat lagi pekan depan agar saya tetap yakin bahwa Partai Republik akan berkuasa selama empat tahun ke depan,” katanya.

Bennet Keller, pendukung Partai Republik dari San Diego, California, mengatakan dia belum dapat mengambil keputusan siapa yang akan dipilih. ”Jika McCain menang, keadaan tidak akan terlalu bagus. Jika Obama menang, keadaan tidak akan menjadi terlalu buruk,” ujarnya. (AP/AFP/joe)

Kamis, 07 Agustus 2008

Pelajaran dr Pakistan


Jika ada berita tentang Afghanistan dalam beberapa pekan terakhir, hampir seluruhnya tentang peningkatan kekerasan dan terbunuhnya banyak orang. Serangan Taliban, termasuk bom bunuh diri, pada 7 Juli di depan Kedutaan India di Kabul yang menewaskan 40 orang, termasuk tiga orang sekuriti di Kedutaan Indonesia, adalah salah satu contoh saja dari serangkaian meningkatnya kekerasan di Afghanistan. Dalam dua bulan terakhir, korban tewas tentara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya meningkat. Bahkan, pada 13 Juli, tidak kurang sembilan tentara AS terbunuh ketika Taliban menyerbu kamp mereka di Provinsi Kunar, Afghanistan Timur.

Alhasil, Taliban yang semula dianggap telah lumpuh, dalam dua tahun terakhir kelihatan bangkit kembali. Masyarakat dunia boleh tidak suka dengan rezim Taliban yang menggunakan cara-cara represif yang tidak acceptable dalam pemerintahannya. Kenyataannya, mengalahkan Taliban bukanlah hal mudah.

Kekuatan militer AS dan sekutunya yang menyerbu Afghanistan hampir tujuh tahun lalu, sebulan setelah Peristiwa 11 September 2001, tidak berhasil dalam misinya menghancurkan Taliban. Padahal, sudah tidak terhitung biaya operasi militer yang dikeluarkan. Selain itu, tidak kurang 15 miliar dolar AS bantuan internasional telah dihabiskan sejak rezim Taliban ditumbangkan untuk 'rekonstruksi' Afghanistan. Tetapi, kini semua itu tampaknya lebih banyak sia-sia karena Taliban tidak pernah lumpuh, sebaliknya terlihat kian sulit dihadapi.

Sementara itu, pemerintahan Hamid Karzai yang didukung AS dan sekutunya tidak dapat menjalankan pemerintahan secara efektif. Paling banter hanya menguasai Ibu Kota Kabul dan sekitarnya. Bahkan, di provinsi yang dekat dengan Kabul sekalipun, seperti Wardak, Ghazni, dan Logar, kekuatan militer AS dan sekutunya yang dibantu pasukan pemerintah tidak mampu menghalangi peningkatan serangan Taliban. Apalagi, di kawasan timur yang berbatasan dengan Pakistan, di mana Taliban berhasil mengonsolidasikan kekuatannya.

Memang, masih terlalu dini untuk menyatakan AS dan sekutunya akan mengulangi sejarah Soviet yang menyerbu Afghanistan pada 1979; meski memiliki kekuatan militer yang lebih perkasa, akhirnya berhasil diusir para pejuang Afghanistan pada 1985. Jelas, kalah atau menang dalam perang tidak selalu ditentukan kelengkapan dan kecanggihan persenjataan. Ada faktor ideologis yang tidak bisa dimatikan senjata dan inilah yang terus mengobarkan semangat perlawanan mereka yang menjadi sasaran operasi militer pihak asing.

Sayang, banyak negara perkasa, seperti AS dan sekutunya, tidak mau belajar dari sejarah, bahkan dari sejarah Afghanistan sendiri ketika menghadapi invasi Uni Soviet. Amerika juga tak mau belajar dari kekalahan pahit dan keterusirannya dalam Perang Vietnam. Begitu juga ketika AS tidak berdaya menghadapi Ayatullah Khomeini setelah kemenangannya dalam Revolusi Islam Iran pada 1979 yang menumbangkan rezim Shah Pahlevi, sekutu setia Amerika.
Inilah beberapa pelajaran paling penting yang semestinya dicamkan negara yang memiliki kekuatan militer canggih. Jika bijak dengan sejarah, seyogianya penggunaan kekuatan militer ( hard power) dihindari dan lebih mengusahakan soft power melalui dialog, diplomasi, dan cara damai lain. Orang bijak mengatakan, mudah memulai perang, tapi sangat sulit mengakhirinya. Inilah yang terjadi di Afghanistan, juga di Irak.

Kini, AS dan sekutunya terlihat pada tubir kekeliruan sejarah yang sama. Memang, dengan tumbangnya rezim Taliban dan berkuasanya tentara sekutu AS, keadaan di Afghanistan mengalami kemajuan dalam bidang tertentu secara terbatas. Tetapi, secara umum, situasi kini kian memburuk. Semakin banyak warga Afghanistan pesimistis dengan masa depan negara mereka.

Pemerintahan Presiden Bush, yang memerintahkan penyerbuan militer ke Afghanistan dan juga Irak, jelas tidak punya waktu lagi untuk memperbaiki keadaan di Afghanistan. Karena itu, harus diwarisi presiden AS selanjutnya. Calon-calon presiden AS, John McCain dari Partai Republik dan Barack Obama dari Partai Demokrat, mestinya mengambil pelajaran dari fiasco 'kegagalan total' yang dibuat pendahulunya. Tetapi, baik McCain maupun Obama dalam beberapa pernyataannya, jika terpilih, berjanji menggandakan kekuatan militer AS di Afghanistan. Jika ini betul-betul diwujudkan, lengkaplah ketidaksediaan mereka untuk belajar dari sejarah sehingga tragedi Afghanistan pun terus berlanjut.