Jumat, 28 November 2008

Pasukan India Serbu Dua Hotel


Puluhan Orang Disandera di Hotel Trident/Oberoi



AP Photo/Rajanish Kakade / Kompas Images
Orang-orang berlindung saat mendengar suara tembakan di luar Hotel The Taj Mahal di Mumbai, India, Kamis (27/11). Sejumlah teroris bersenjata menyerang hotel, restoran, rumah sakit, dan stasiun kereta api dalam sebuah aksi serangan serentak di seluruh Mumbai sejak Rabu malam waktu setempat. Kelompok teroris dilaporkan masih menyandera sejumlah orang. Aksi bersenjata yang mengundang kecaman dunia ini menewaskan 125 orang dan mencederai lebih dari 300 orang.
Jumat, 28 November 2008 | 03:00 WIB



Subur Tjahjono

New Delhi, Kompas - Mumbai, yang merupakan ibu kota keuangan dan simbol gemerlapan India, serentak muram. Serangan teroris bersenjata di 10 lokasi di Mumbai sejak Rabu malam menewaskan 125 orang dan mencederai 327 orang. Hingga Kamis (27/11) malam, puluhan tamu di Hotel Trident/Oberoi masih disandera.

Kelompok yang menyebut dirinya ”Deccan Mujahidin” menyandera 20-30 orang dalam Hotel Trident/Oberoi, Mumbai, India. Hotel yang berdekatan dengan hotel bintang lima, Taj Mahal, bagian dari serangan teroris ke-10 lokasi berbeda di kota Mumbai, termasuk rumah sakit dan kafe terkenal.

Pasukan elite India dilaporkan menyerbu dua hotel mewah itu. Suara rentetan tembakan dan ledakan silih berganti terdengar dari dalam hotel. Empat anggota kelompok itu tewas ditembak saat hendak melarikan diri. Empat tersangka lain tewas ditembak di Taj Mahal dan sembilan tersangka ditahan. Sementara sampai kini empat warga asing tewas, yakni dari Inggris, Jepang, Australia, dan Jerman.

Kepala Kepolisian Mumbai Hassan Gafoor memperkirakan 200 tamu hotel terjebak atau disandera di hotel. Lebih dari 40 orang dapat diselamatkan dari hotel saat sebagian hotel terbakar. Api berasal dari kamar yang dipakai untuk menyandera. Militer memperkirakan masih ada 10-12 orang di dalam Taj Mahal, Trident/Oberoi, dan pusat komunitas Yahudi.

Selain Trident/Oberoi, semula Taj Mahal juga diserang. Namun, kepolisian sudah memastikan tak ada lagi sandera di Taj Mahal. Namun, masih ada tamu dan karyawan yang terjebak di kamar.

Menurut pejabat Kedutaan Besar RI di New Delhi Rizali Indrakesuma, ada lima WNI karyawan Oberoi yang diimbau tidak keluar kamar dan tidak buka pintu untuk siapa pun kecuali aparat keamanan.

Serangan terkoordinasi yang dimulai Rabu pukul 22.30 waktu setempat itu berawal dari stasiun kereta api, dua hotel, rumah sakit, dan Kafe Leopold yang dipadati turis asing. Sedikitnya 125 orang tewas dan 327 orang terluka akibat diberondong tembakan senjata otomatis AK-47 dan terkena pecahan granat. ”Bebaskan Mujahidin dari penjara India. Muslim India juga jangan diganggu,” kata salah satu anggota kelompok itu kepada stasiun TV India.

Tuding tetangga

Perdana Menteri India Manmohan Singh menuding ada ”pihak-pihak luar” yang mendalangi serangan itu. Ia juga mengingatkan, India akan menindak tegas negara-negara yang wilayahnya digunakan untuk tempat bersembunyi dan melancarkan serangan ke India. ”Serangan ini amat terencana dan terkoordinasi. Ada pihak luar yang terlibat,” ujarnya.

Kepala Operasi Militer Ekstremis di India Mayor Jenderal RK Hooda amat yakin kelompok itu datang dari Pakistan. ”Kemungkinan mereka menyeberang perbatasan dari Faridkot, Pakistan. Mereka berpura-pura datang dari Hyderabad,” ujarnya.

Pihak Angkatan Laut India kini tengah mencari kapal-kapal yang ada di wilayah lepas pantai barat. Ada informasi, kelompok bersenjata itu masuk Mumbai dengan lima kapal cepat setelah dibawa kapal yang lebih besar.

Menanggapi tudingan dari India, Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mehmood Qureshi meminta India menanti hasil akhir penyelidikan sebelum menuding tanpa bukti. ”Jangan terlalu cepat ambil kesimpulan dan jangan asal tuding. Sikap kita harus tenang dan saling mendukung,” ujarnya.

Bukan Al Qaeda

Sumber di intelijen Rusia pada kantor berita Rusia, RIA Novosti, mengatakan, serangan di Mumbai terkait dengan jaringan terorisme Al Qaeda. Ada bukti informasi di tangan intelijen Rusia bahwa ada kelompok tertentu yang memiliki kontak dengan Al Qaeda. ”Salah satunya kelompok Lashkar-i-Tayyiba. Kelompok itu dilatih khusus di kamp di perbatasan Pakistan-India,” kata sumber itu.

Akan tetapi, Lashkar-i-Tayyiba membantah tuduhan Rusia. ”Kami sama sekali tidak terlibat. Kami tidak membunuh warga sipil yang tidak bersalah. Ini tindakan kelompok militan Hindu yang sengaja menyebar teror kepada Muslim,” kata juru bicara kelompok itu, Abdullah Ghaznavi.

Dalam analisis harian The International Herald Tribune edisi Kamis dilaporkan, ahli-ahli terorisme global mengaku tak pernah mendengar kelompok dengan nama ”Deccan Mujahidin”. Berdasarkan taktik serangan yang dipakai, kelompok itu juga kemungkinan besar tidak ada hubungan dengan Al Qaeda. ”Bahkan, kelompok itu belum tentu ada,” kata Bruce Hoffman, pakar di School of Foreign Service di Georgetown University yang menulis buku Inside Terrorism.

Christine Fair, pengamat ilmu politik dan Asia Selatan di RAND Corporation, juga yakin target dan gaya serangan Mumbai itu bukan gaya Al Qaeda.

”Tidak ada pelaku bom bunuh diri kan,” ujarnya.

Namun, Hoffman mengakui serangan Mumbai itu ”taktis, sangat terorganisir dan sempurna”. Melihat fakta itu, kemungkinan ada organisasi yang jauh lebih mapan yang menjadi otaknya. Namun, Fair berbeda pendapat. Menurut dia, tidak ada yang sulit dalam serangan itu karena semua target serangan tergolong sasaran empuk yang terbuka lebar. (REUTERS/AFP/AP/fro/LUK)


Selasa, 25 November 2008

Obama Umumkan Tim Ekonomi


Selasa, 25 November 2008 | 01:16 WIB

Washington, senin - Presiden AS terpilih Barack Obama mengumumkan tim ekonomi, Senin (24/11), yang akan menjalankan kebijakan ekonomi dan mengawasi kemungkinan resesi. Obama dan anggota Kongres dari Partai Demokrat juga tengah menyiapkan rencana program stimulus ekonomi besar-besaran mencapai 700 miliar dollar AS untuk periode dua tahun.

Nama-nama anggota tim ekonomi Obama yang sudah muncul adalah Presiden Bank Sentral New York Timothy Geithner (47) yang akan menjadi menteri keuangan dan mantan Menteri Keuangan Lawrence Summers (53) yang akan menjadi Direktur Dewan Ekonomi Nasional.

”Tim Geithner adalah orang yang berpengalaman menghadapi krisis ekonomi sebagai asisten menteri keuangan untuk urusan luar negeri tahun 1990-an. Dia adalah orang yang tepat untuk memimpin keuangan,” kata David Axelrod, ahli strategi tim kampanye Obama yang akan menjadi penasihat senior Gedung Putih, kepada stasiun televisi Fox, Minggu.

”Mereka (Geithner dan Summers) adalah orang-orang yang dikenal luas sebagai pemimpin di bidang ekonomi,” ujar Axelrod.

Axelrod tidak mengonfirmasikan rumor yang beredar bahwa Gubernur New Mexico Bill Richardson tengah dipersiapkan sebagai menteri perdagangan di kabinet Obama.

Paket baru

Terkait paket stimulus ekonomi baru, belum ada angka resmi yang disebutkan Obama. Surat kabar The Washington Post, Senin, melaporkan, Gubernur New Jersey Jon Corzine dan Lawrence Summers memunculkan kemungkinan paket stimulus ekonomi baru senilai hingga 700 miliar dollar AS.

Mantan Menteri Tenaga Kerja Robert Reich dan Senator Demokrat Charles Schumer juga menyerukan anggaran belanja baru sebesar 500 miliar dollar AS hingga 700 miliar dollar AS untuk menstimulasi ekonomi.

Krisis ekonomi telah meluas dalam 20 hari sejak Obama memenangi pemilu. ”Taruhannya tinggi. Ini momen berbahaya bagi ekonomi. Nyaris tidak ada yang mengendalikan. Sekarang semua orang mengharapkan Obama bisa menemukan apa yang akan terjadi setidaknya dalam beberapa bulan, atau bahkan beberapa pekan, ke depan,” kata Julian Zelizer, dosen sejarah dan urusan publik di Princeton University.

Dalam pidato mingguan di radio, akhir pekan lalu, Obama mengatakan telah memerintahkan para penasihat ekonominya untuk membuat rencana menciptakan 2,5 juta lapangan kerja selama dua tahun ke depan. Obama bermaksud membuat orang kembali bekerja melalui pembangunan kembali jalan-jalan dan jembatan, modernisasi sekolah, pembuatan panel tenaga surya, dan mobil hemat bahan bakar.

”Harapan kami Kongres mulai bekerja tentang (rencana) ini segera setelah mereka menjabat pada awal Januari karena kita tidak punya banyak waktu,” ujar Axelrod.

Obama juga menginginkan anggota Kongres dari Demokrat menggunakan mayoritas suaranya saat bertemu pada 6 Januari untuk mempersiapkan pemotongan pajak bagi warga berpendapatan rendah dan menengah sebagai bagian dari intervensi pemerintah untuk menarik AS keluar dari krisis ekonomi.

Seorang pembantu Obama mengatakan, rencana itu tidak serta-merta menyebabkan kenaikan pajak bagi orang-orang kaya. ”Tidak akan ada kenaikan pajak dalam paket rencana Januari,” kata pembantu itu. (ap/afp/reuters/fro)

Kamis, 13 November 2008

Kejahatan Kerah Putih


Kamis, 13 November 2008 | 00:45 WIB

Dony Kleden

Munculnya kejahatan dalam banyak wajah menampilkan berbagai opera politik yang tidak hanya mendera kebersamaan, tetapi juga pada dirinya menihilkan tanggung jawab moral pribadi.

Berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan para petinggi bangsa sebenarnya menggambarkan kualitas peta perpolitikan kita yang terus berada di titik nadir. Kita mungkin merasa putus asa dengan aneka masalah di sekitar kita. Sayang, semua masalah itu diperparah dengan berbagai mafia di berbagai instansi pemerintahan yang notabene adalah pion- pion penggerak kesejahteraan rakyat.

Kejahatan kerah putih

Kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah ditetapkan oleh hukum.

Umumnya, skandal kejahatan kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih terjadi dalam lingkungan tertutup, yang memungkinkan terjadinya sistem patronase. Kejahatan kerah putih sungguh memasung dan membodohi rakyat. Rakyat yang tidak melek politik akhirnya pasrah, tetapi kepasrahan ini justru kian membuat para pejabat menggagahinya.

White collar crime dibedakan dari blue collar crime. Jika istilah white collar crime ditujukan bagi aparat dan petinggi negara, blue collar crime dipakai untuk menyebut semua skandal kejahatan yang terjadi di tingkat bawah dengan kualitas dan kuantitas rendah. Namun, kita juga harus tahu, kejahatan di tingkat bawah juga sebuah trickle down effect. Maka, jika kita mau memberantas berbagai kejahatan yang terjadi di instansi pemerintahan, kita harus mulai dari white collar crime, bukan dari blue collar crime.

Rapuhnya hukum

Di negara kita, yang namanya kejahatan kerah putih sudah menjadi berita biasa yang sering didengar, dilihat, dan dialami. Kejahatan kerah putih di negara yang tidak pernah jera merampas uang rakyat, menindas, dan mendurhakai rakyat diglorifikasi dengan lemahnya tampilan penegak hukum di Tanah Air.

Kejahatan kerah putih yang endemik dan sistemik di negara kita adalah produk dari lemahnya tampilan penegak hukum. Tidak terlalu salah jika kita mengatakan, kejahatan kerah putih di negara ini adalah karakter dari bangsa yang begitu permisif dan kompromis. Hukum dengan mudah diperjualbelikan dengan harga kompromi. Rakyat tetap terpuruk dalam kawah krisis dan kemiskinan yang terus melilit hidupnya. Kejahatan kerah putih berjalan sendiri dan menetapkan kebijakan sejauh dapat memberikan peluang kepadanya untuk terus melestarikan eksistensinya.

Salah satu pokok mengapa kejahatan kerah putih di negara kita yang tampil dengan banyak wajah sehingga sulit diberantas adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan. Kedaulatan hanya terwujud lima tahun sekali dalam momentum pemilu. Di lain pihak tidak ada empati politik dari para politisi dan pemegang kekuasaan pada negara membuat kejahatan kerah putih terus berparade dan meneriakkan slogan suci dari mulut dan hatinya yang kotor. Pertanyaannya, apakah pemerintah mampu memberantas para bandit yang kini masuk sistem politik, ekonomi, dan hukum, bahkan meluas ke semua bidang kehidupan?

Kita tentu akan lari ke peran hukum. Apakah hukum mampu ditegakkan? Negara yang demokratis harus ditopang oleh hukum yang adil. Hukum yang adil adalah penjamin hak-hak demokratis seluas-luasnya. Sejatinya, demokrasi adalah sebentuk prosedur yang memaksa kerja sama politik secara konstitusional.

Demokrasi tidak hanya terletak pada kehendak umum, tetapi juga sebuah strategi dalam kerja sama politik (Michel Foucault, 1979). Sejatinya politik oleh Foucault dilihat sebagai cara ampuh untuk saling memeriksa dan menyeimbang sehingga tidak ada dominasi yang melahirkan kejahatan kerah putih. Semoga.

Dony Kleden Rohaniwan; Pemerhati Masalah Politik

Pesan dari Krisis Keuangan AS


Kamis, 13 November 2008 | 00:43 WIB

Adrianus Mooy

Banyak informasi terkait krisis keuangan Amerika Serikat berikut dampaknya terhadap dunia. Demikian juga paket stimulus yang mencapai total 4 triliun dollar AS guna mengatasi dampak krisis itu.

Indonesia pun sudah merasakan dampaknya—meski terbatas—dalam bentuk jatuhnya harga saham di pasar modal, turunnya nilai rupiah, dan turunnya cadangan devisa karena arus modal keluar. Dampak lebih besar terhadap sektor riil baru akan dirasakan satu hingga tiga tahun mendatang karena krisis terus berkembang. Pertanyaannya, pesan apa yang dapat ditarik dari krisis ini? Apa yang harus dilakukan dan dihindari.

Untuk itu kita perlu mengetahui faktor dan penyebab timbulnya krisis keuangan AS dan bagaimana krisis itu memengaruhi, sebelum kita berbicara tentang langkah-langkah yang perlu dihindari dan perlu dilakukan.

Penyebab krisis keuangan AS

Pertama, adanya global imbalances di mana AS mengonsumsi lebih besar dari kemampuannya. Ini tecermin pada defisit ganda AS (defisit anggaran belanja dan transaksi berjalan) yang justru dibiayai oleh emerging markets, terutama China.

Kedua, pemberian kredit perumahan dalam jumlah besar kepada nasabah yang tidak layak (subprime) dengan bunga variabel yang mencapai 1,2 triliun dollar AS. Setelah suku bunga 2004- 2006 naik dari 1,0 persen menjadi 5,25 persen, kredit pun macet karena penghasilan nasabah subprime tidak meningkat.

Ketiga, sektor keuangan yang berkembang dengan pesat melalui penciptaan derivatif keuangan 480 miliar dollar AS subprime credit, misalnya, telah disekrutisasi melalui peciptaan derivatif, yaitu CDOs (collateralized debt obligations) yang dijual kepada investor AS maupun luar negeri tanpa rating yang benar. Melalui derivatif, kreditor yang semula telah mendapatkan uangnya kembali dengan keuntungan dan bonus besar sehingga tidak pusing lagi. Akan tetapi, pemegang CDOs terakhirlah yang menanggung beban sehingga banyak yang berguguran.

Keempat, krisis itu meluas, melahirkan kelangkaan likuiditas sehingga dana tidak mengalir ke sektor ekonomi/riil, mengakibatkan timbulnya resesi ekonomi. Hal ini memengaruhi perekonomian dunia karena ekonomi AS adalah yang terbesar di dunia.

Dampaknya bagi Indonesia

Pada sektor keuangan, dampak bagi Indonesia bisa dikatakan tidak ada karena tidak memiliki CDOs dari AS. Akan tetapi, kelangkaan likuiditas di AS dan Eropa menyebabkan modal jangka pendek yang semula masuk Indonesia balik kandang karena dibutuhkan di negeri asalnya. Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh karena pemainnya yang kebanyakan dari luar negeri, menjual lalu menukarnya dengan dollar AS. Rupiah pun melemah dan cadangan devisa menurun. Ini konsekuensi logis kebijakan kita untuk menerima modal jangka pendek dalam jumlah besar sehingga apa yang terjadi di sektor keuangan merupakan koreksi terhadap keadaan sebelumnya. Titik keseimbangan akan terbentuk, baik tentang kurs rupiah maupun harga saham setelah modal jangka pendek keluar semua, atau berhenti keluar karena likuiditas di luar sudah teratasi atau pemodal dalam negeri tidak ikutan menaruh dananya di luar karena merasa lebih terjamin di sana.

Bagi Indonesia, dampak yang lebih berarti adalah pada sektor riil. Resesi di AS menyebabkan penurunan ekspor Indonesia ke AS, juga ke Eropa dan Asia. Mengapa Asia, karena ekspor kita ke sana umumnya barang setengah jadi yang lalu diolah dan diekspor lagi ke AS. Artinya, untuk beberapa tahun mendatang laju pertumbuhan ekonomi kita akan menurun, pengangguran dan kemiskinan meningkat.

Langkah kurang tepat

Kebijakan yang terlambat dan hanya menjamin dana pihak ketiga hingga Rp 2 miliar—sedangkan negara tetangga menjamin 100 persen—mengesankan pemerintah mendorong capital flight dengan menganjurkan untuk menyimpan Rp 2 miliar di dalam negeri, dan menyimpan kelebihannya di luar negeri. Padahal, jumlah di atas Rp 2 miliar amat besar dari total dana pihak ketiga. Seharusnya pemerintah segera memberikan blanket guarantee untuk semua dana pihak ketiga sebagai tindakan preventif.

Kebijakan untuk mendongkrak harga saham dengan beli balik dan intervensi BI guna mendongkrak nilai rupiah hanya akan menguntungkan pemodal luar negeri. Mereka akan mendapat keuntungan ganda. Rupiah didapat lebih banyak bila menjual sahamnya dan mendapat dollar AS lebih banyak jika menukarnya. Akan tetapi, kita tidak dapat mencegah mereka keluar. Pelarian modal memang mengakibatkan gangguan, tetapi ini sudah seharusnya diketahui saat modal jangka pendek yang spekulatif masuk dari luar tanpa batas.

Kini penambahan likuiditas rupiah tidak akan menjamin terkucurnya kredit ke sektor riil selama masalah sektor riil belum teratasi. Hal ini juga akan mendorong pembelian dollar AS dan pelarian modal. Masalah kekurangan likuiditas yang ditakutkan sebenarnya kurang beralasan karena selama ini sektor keuangan kelebihan likuiditas, tetapi tidak disalurkan ke sektor riil. Kelebihan itu justru ditanam di SBI karena sektor riil menghadapi banyak masalah, seperti infrastruktur, perpajakan, perburuhan, kepastian hukum, dan birokrasi, sehingga oleh bank dinilai tidak layak menerima kredit. Ini adalah masalah yang sudah diketahui lama, tetapi belum tertangani baik hingga kini.

Menghindari krisis

Guna menghindari krisis, kredit konsumsi—kredit sepeda motor dan kartu kredit—yang menggebu-gebu, tetapi tidak diimbangi kredit investasi untuk sektor riil, perlu diwaspadai.

Juga perlu diperhatikan sektor keuangan yang melaju cepat, tetapi tidak diimbangi tumbuhnya sektor riil.

Waspadai dana jangka pendek dari luar negeri dalam jumlah besar karena dibanding manfaatnya, risikonya justru lebih besar. Saat masuk, rupiah mengalami apresiasi, pemerintah mendapat dana untuk biayai defisit, dan cadangan devisa meningkat. Akan tetapi, cadangan ini sebenarnya hanya pinjaman (borrowed reserves) yang tidak berguna untuk menjamin impor. Ia hanya untuk berjaga-jaga bila modal itu kembali keluar. Saat keluar serentak, akan terjadi guncangan besar di pasar keuangan.

Pesan untuk mengatasi krisis

Pertama, pemerintah perlu mengambil langkah cepat. Berbuat sesuatu secara cepat, biayanya lebih kecil daripada tidak berbuat apa-apa.

Kedua, langkah-langkah secara terkoordinasi antara otoritas moneter (Bank Sentral) dan otoritas fiskal (pemerintah) lebih efektif untuk mengatasi krisis. Di AS, setiap ada krisis, Bank Sentral dan Pemerintah AS bersama-sama bertindak cepat. Disadari, satu kebijakan saja tak dapat mengatasi semua masalah. Ini memberi harapan meski terjadi krisis, tetapi tak berlangsung lama.

Ketiga, krisis timbul karena sektor riil tidak tumbuh sebanding dengan sektor keuangan. Solusinya, memberi stimulus fiskal guna menggerakkan sektor riil. Jadi, It’s the Real Sector, Stupid, meniru semboyan dari kampanye Bill Clinton tahun 1992.

Pertanyaannya, di mana kebijakan fiskal dengan paket stimulusnya? Anggaran belanja modal yang ada tidak penuh digunakan. Hingga Oktober realisasinya hanya 50 persen. Dampak ekonominya lebih kontraktif karena dana ke daerah yang sepenuhnya dikeluarkan ternyata disimpan lagi dalam SBI. Jika pemerintah tidak dapat menggunakan dana pajak dengan baik, sebaiknya dikembalikan kepada swasta untuk menggunakannya melalui keringanan pajak.

Jika sektor riil tidak cepat dibenahi, kelesuan ekonomi Indonesia bisa berkepanjangan dan lebih parah lagi bila ekonomi AS cepat bangkit, tetapi kita tidak dapat bangkit bersama

Jadi, di mana inti masalah yang dihadapi dan inti solusi yang dicari? Jawabannya, sekali lagi It’s the Real Sector, Stupid.

Adrianus Mooy Penasihat Senior UPH; Mantan Gubernur BI

Sabtu, 08 November 2008

Mulai dari Sila Keadilan


KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images
Pemulung cilik di Banjir Kanal Barat di kawasan Jati Petamburan, Jakarta Pusat, awal September 2008. Jumlah warga yang senasib dengan mereka cukup banyak dan seolah-olah sila keadilan sangat jauh dari lingkungan mereka sehari-hari.
Jumat, 7 November 2008 | 03:00 WIB


Wacana melaksanakan nilai-nilai Pancasila dengan urutan terbalik, mulai dari paling dasar, dari sila Keadilan Sosial, cenderung meluas. Lebih-lebih karena bersifat konkret.

paya menegakkan keadilan, terutama dalam bidang ekonomi, merupakan langkah nyata bagi pelaksanaan Pancasila. Nilai keadilan tidak hanya menjadi jargon, tetapi kenyataan dalam kehidupan berbangsa.

Selama Pancasila hanya digunakan dan diperalat untuk kepentingan politik dan bahan retorika, maknanya sebagai ideologi akan melorot dan hambar. Jauh lebih penting lagi, bagaimana keinginan itu tidak berhenti pada wacana atau retorika, tetapi benar-benar diikat dalam program aksi yang dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh warga masyarakat.

Sekadar perbandingan, neososialisme di Amerika Latin menjadi kuat karena benar-benar dipraktikkan secara nyata untuk menjawab kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak. Sebelumnya, neososialisme dicemooh karena hanya menciptakan retorika dan kesadaran palsu yang tidak membawa perubahan apa-apa bagi rakyat, terutama yang terpinggirkan.

Para pemimpin Amerika Latin, seperti Presiden Venezuela Hugo Chavez dan Presiden Paraguay Fernando Lugo, mengagumi ajaran Bung Karno tentang nasionalisme dan sosialisme. Pengalaman Amerika Latin, sejauh bidang dibanding-bandingkan, memperlihatkan bahwa nilai kemanusiaan harus dibangun di atas landasan ekonomi. Dalam kebutuhan ekonomi, seluruh manusia dipertemukan dan dipersatukan. Semua butuh makan.

Prinsip-prinsip Pancasila dikenal luas di Amerika Latin, terutama di kalangan yang mengenal para pendiri bangsa seperti Bung Karno. Namun, sampai sekarang ide-ide yang banyak memberikan inspirasi itu hanya menjadi kunyahan dan omongan.

Persoalan macam ini pernah dialami juga di Amerika Latin. Para pemimpin sangat pandai berbicara tentang kemajuan dan upaya memberantas korupsi dan kemiskinan, tetapi tidak ada perubahan.

Partai-partai juga hanya bicara visi dan misi, tetapi tidak melakukan pekerjaan lapangan. Hanya pandai berkata-kata, tetapi tidak mampu melakukan transformasi ide dan perilaku yang membebaskan rakyat dan bangsa dari keterbelakangan.

Panggilan sejarah telah mendorong para pemuka agama dan politisi di Amerika Latin berubah. Kata-kata dan ungkapan dijadikan kerja. Iman tidak hanya mencari ilmu pengetahuan, fides quarens intellectum, tetapi juga pencari kesejahteraan, bonum commune.

Gotong royong merupakan kata lain untuk solidaritas dalam melakukan pekerjaan. Keberadaan dan keberlangsungan hidup bangsa Indonesia antara lain karena mampu mempertahankan prinsip itu dalam praktik.

Ibarat anak tangga

Wacana untuk melaksanakan Pancasila dalam urutan terbalik, mulai dasar, dari sila Keadilan Sosial, cenderung berkembang luas, lebih-lebih belakangan ini. Argumennya tergolong kuat. Secara visual, ibarat anak tangga, sila kelima terletak paling bawah, yang perlu ditapaki pertama sebelum melangkah ke atas.

Secara sosiologis, keadilan sosial, terutama dalam bidang ekonomi, menjadi tuntutan fundamental. Kesenjangan sosial akan memberi komplikasi rumit bagi berbagai aspek kehidupan lainnya. Jika prinsip keadilan dan kesejahteraan ekonomi terjamin, jalan menuju sila ke-4, ke-3, ke-2 dan ke-1 menjadi lebih kuat dan lebih mantap.

Tidak terbayangkan kehidupan demokrasi yang dijamin oleh sila ke-4 jika kehidupan ekonomi masih morat-marit. Makna dan kualitas demokrasi akan rendah jika tidak diperkuat oleh kesejahteraan ekonomi.

Kehidupan demokrasi dalam situasi ketidakadilan sama sekali hambar. Orang sulit bersikap demokratis dalam situasi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi.

Tidak mungkin membayangkan sila keempat, Permusyawaratan Rakyat, jika dijalankan dalam perut lapar karena kesenjangan dan kemiskinan. Kualitas demokrasi antara lain ditentukan oleh kadar kemajuan ekonomi.

Proses demokrasi tidak dapat dijalankan dengan tenang dan aman jika perut lapar. Pembangunan ekonomi bersifat membebaskan dari kemiskinan, sekaligus memperkuat kadar demokrasi.

Basis yang kuat dalam bidang ekonomi akan memperkukuh pula penghayatan terhadap sila ketiga, kedua, dan pertama. Kunci masuk ke dalam Pancasila haruslah melalui sila kelima.

Jika pijakan sosial ekonomi kuat sesuai dengan sila ke-5 dan demokrasi kuat sesuai dengan sila ke-4, kegairahan hidup bersama dan persatuan yang ditegaskan dalam sila ke-3 akan menjadi kuat.

Keadilan sosial dan kehidupan yang demokratis akan memperkuat persatuan bangsa. Orang akan saling menghormati dan menghargai sebagai sesama warga masyarakat dalam semangat demokratis.

Jika sila ke-5, ke-4, dan ke-3 dilaksanakan, tangga sila ke-2 akan terlaksana dengan sendirinya. Kemanusiaan akan tercipta dalam keadilan sosial, demokrasi, dan persatuan.

Tidak mungkin kemanusiaan akan dihormati jika tidak ada keadilan sosial, tidak ada demokrasi, dan tidak ada persatuan. Perpecahan atau permusuhan akan membahayakan kemanusiaan.

Jika empat sila itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, penghayatan sila Ketuhanan akan semakin kokoh. Rasa ketuhanan akan rendah jika orang terus bergulat dalam kemiskinan, tidak demokratis, tidak menghargai persatuan dan kemanusiaan.

Tuhan dimuliakan

Tuhan harus dimuliakan dalam perut yang kenyang, bukan dalam wajah yang muram oleh kelaparan dan kemiskinan. Luar biasa pikiran dan ide para pendiri bangsa yang telah merumuskan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yang menunjukkan arah dan orientasi perjuangan.

Namun, dalam perkembangannya, ide-ide besar Pancasila dan Mukadimah UUD 1945 masih sebatas retorika dan jargon yang hanya membentuk kesadaran palsu dan sama sekali tidak menggerakkan tindakan nyata.

Namun, jauh lebih hebat lagi bagaimana mendapatkan makanan itu. Maka, kemandirian dan kedaulatan pangan diperjuangkan. Tidak gampang mengapai semua itu.

Bagi kelompok miskin yang baru berupaya mengapai kemajuan, makan memang sangat penting, tetapi jauh lebih penting bagaimana mengelola rasa lapar.

Persoalan makan dan kelaparan menjadi enteng jika semua orang mengembangkan semangat persaudaraan, persahabatan dan pertolongan, yang mengacu pada spiritualitas keagamaan. (rikard Bagun)

Terperangah atas Asketisme Lugo (Paraguay)


Jumat, 7 November 2008 | 01:37 WIB

Oleh Rikard Bagun

Sebagai tamu khusus, saya dan politisi muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, dapat berkali-kali memasuki rumah kediaman Presiden Paraguay Fernando Lugo di pinggiran Asuncion, ibu kota negara.

etiap kali masuk, kami berdua dibuat terperangah dan tidak habis pikir mengenai kondisi rumah berukuran sekitar 45 meter persegi itu. Citra kesederhanaan tidak hanya terlihat dari luar, tetapi terutama di dalam rumah warisan keluarga Lugo itu.

Sekalipun Lugo sudah terpilih sebagai presiden pada April lalu, kondisi rumahnya tidak berubah juga, sekurang-kurangnya sampai dua hari setelah dilantik tanggal 15 Agustus lalu.

Dengan diantar oleh Martin Bhisu asal Flores, Nusa Tenggara Timur, saya dan Budiman dapat memasuki rumah itu berkali-kali tanpa halangan sedikit pun.

Rasa terkejut bertambah karena Martin, mantan sekretaris pribadi Lugo, terkesan seenaknya mengajak kami berdua melihat- lihat seluruh ruangan, termasuk dapur dan kamar tidur Lugo.

Namun, belakangan baru diketahui, Martin sebagai mantan sekretaris pribadi Lugo sudah menyatu dengan budaya masyarakat Paraguay yang terkenal ramah terhadap tamu dan cenderung memperlakukan tamu sebagai anggota keluarga.

Tidak segan-segan orang Paraguay, pria atau perempuan, mengajak minum yerba mate, teh khas Paraguay, yang diminum bersama secara bergilir dari satu cangkir kayu. Jika sudah kenal, tamu bisa mengajak lihat dapur dan isi kulkas, bahkan tempat tidur.

Kehangatan macam itu juga terasa di rumah kediaman Lugo. Hanya bagi saya dan Budiman dengan latar belakang Indonesia, alangkah mengejutkan kondisi rumah kediaman presiden yang begitu sederhana, jauh dari kemewahan.

Jika di Indonesia, jangankan presiden, pelantikan seorang pejabat tinggi pun sudah memancing banyak orang yang berkepentingan untuk mengulurkan tangan, memberi bantuan, termasuk memperbaiki rumah.

Karangan bunga pun mengalir. Namun, dalam kasus Lugo, hal macam itu praktis tidak terlihat. Citra asketis sangat kuat pada Lugo, yang terefleksi jelas pada rumah kediamannya.

Cat kusam tetap menyelimuti dinding luar dan seluruh ruangan rumah. Sofa sederhana, yang terkesan agak kusam, tetap berada di ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan. Terlihat pula sebuah perangkat TV tua.

Ekspresi kesederhanaan itu semakin terasa kuat pada meja makan. Setiap tamu, termasuk kami bertiga dari Indonesia (saya, Budiman, dan Martin), ikut menikmati makanan harian Lugo berupa singkong rebus, nasi putih, daun kol cacah (salad), dan ikan. Jenis makanan sehari-hari rakyat biasa di Paraguay. Tidak ada yang istimewa.

Sementara itu, di dinding ruang tamu yang kusam tampak tergantung bingkai sederhana berisi surat keputusan komisi pemilu atas kemenangan Lugo dalam pemilihan presiden. Juga terlihat foto pribadi Lugo yang sedang berpidato, yang dibingkai dengan sederhana pula.

Dalam lorong tangga menuju lantai dua terlihat tembok yang kusam terkena tirisan hujan. Potret kesederhanaan itu semakin terlihat pada kamar tidur Lugo yang kecil.

Ketika dilantik menjadi presiden, Lugo terlihat seperti menggunakan baju putih lengan panjang dan celana panjang krem yang sudah biasa dipakainya. Sama sekali tidak memakai seragam lengkap sipil.

Ajak ke istana

Selama menjadi tamu khusus, saya dan Budiman sering terkaget-kaget dengan kiprah Lugo yang terkesan tidak terikat dengan pakem protokoler seorang presiden.

Dua hari sebelum dilantik, Lugo, misalnya, tiba-tiba meminta Martin untuk mengantarnya ke Casa Sentral SVD. Dengan mobil setengah pikap, Lugo bersama kami bertiga dari Indonesia pergi di tengah larut malam ke Casa Sentral SVD di pinggiran Asuncion.

Dua hari setelah dilantik, Lugo tiba-tiba juga mengajak kami bertiga menaiki mobil yang dikemudikannya sendiri ke Istana Kepresidenan. Namun, ajakan itu batal karena kami menggunakan kendaraan lain agar leluasa bisa meninggalkan Kantor Kepresidenan. Akan tetapi, Lugo meminta agar kendaraan kami mengambil posisi langsung di belakang kendaraannya menuju istana.

Sesampai di Istana Kepresidenan, kami bertiga diajak Lugo untuk ikut melihat seluruh ruang kerja, termasuk ruang sidang kabinet dan kamar istirahat yang dilengkapi kasur.

Selama hari pertama mengantor itu, kami bertiga dipersilakan duduk sambil minum kopi dan teh di ruang kerjanya. Secara langsung kami bertiga dapat menyaksikan Presiden Lugo menerima sejumlah anggota kabinet sembari menandatangani sejumlah dekret penting.

Pada hari pertama kerja sebagai presiden itu, Lugo mendapat laporan, anggaran rumah tangga istana hanya tersisa sekitar 20.000 dollar AS untuk kebutuhan empat bulan ke depan. Sebagian dana sudah dihabiskan rezim terdahulu yang terkenal korup.

Sesekali Lugo dan anggota kabinetnya menanyakan situasi terkini Indonesia. Sehari sebelumnya kami bertiga juga diajak mengikuti acara syukuran di San Piedro, tempat Lugo menjadi uskup sebelum terjun ke dunia politik tahun 2006.

Ketika makan pagi, kami menyaksikan bagaimana Lugo bersama Presiden Venezuela Hugo Chavez menyantap makanan rakyat Amerika Latin, seperti ubi kayu, jagung, dan pisang rebus.

Salah satu karakter para pemimpin neososialis Amerika Latin memang kedekatan dengan rakyat. Sosialisme benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Percakapan dengan Lugo dan Chavez


EPA/ANDRES CRISTALDO / Kompas Images
Presiden terpilih Paraguay, Fernando Lugo (kanan), berjalan bersama beberapa pejabat setempat di Paraguay, 11 Agustus 2008, atau empat hari menjelang pelantikan dirinya sebagai presiden.
Jumat, 7 November 2008 | 03:00 WIB

Oleh Budiman Sudjatmiko

Menghela Amerika Latin setelah Lima Ratus Tahun Kesunyian. Aku memiliki saksi yang memadai atas semua kebenaran yang kukatakan, yaitu... kemiskinanku. - Socrates

Gabriel Garcia Marquez, sastrawan revolusioner Kolombia pemenang Nobel Sastra, secara realis-magis melukiskan sejarah Amerika Latin yang kelam melalui kisah keluarga Jose Arcadio Buendia.

engan indah, Amerika Latin yang dilihatnya melalui sejarah keluarga Buendia diriwayatkan melintasi ”Seratus Tahun Kesunyian”. Dalam faktanya, jatuh bangunnya Amerika Latin dalam menanggung exploitacion ini menjangkau ”500 tahun kesunyian” sejak datangnya kolonialis Spanyol dan Portugis.

Anak-anak panah waktu terasa lambat merambati tubuh Amerika Latin selama 500 tahun itu. Kini, putra-putrinya sedang tekun bekerja mencabuti anak-anak panah itu dari tubuh ibu pertiwi mereka. Apa persisnya yang sedang mereka lakukan?

Jika kita mengaitkannya dengan aspirasi-aspirasi politik modern, terutama selama lebih kurang 10 tahun terakhir ini, perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kedaulatan bangsa dalam wilayah Amerika Latin senantiasa dikaitkan dengan aspirasi sosialisme, perluasan peran dan fungsi kewarganegaraan, pendalaman demokrasi, serta penegakan kedaulatan nasional ataupun solidaritas regional.

Dalam kesempatan saya memenuhi undangan pelantikan Fernando Lugo sebagai presiden Paraguay pada tanggal 15 Agustus, saya berkesempatan berinteraksi dengan para tokoh perjuangan itu. Khususnya saya sempat secara lebih dekat berkomunikasi dengan Fernando Lugo dan Hugo Chavez saat keesokannya menghadiri syukuran pelantikan gubernur Provinsi San Pedro, pusat gerakan petani di Paraguay Utara.

Kedua nama di atas adalah dua dari sembilan presiden wong cilik yang terpilih di Amerika Latin dalam sepuluh tahun terakhir. Mereka adalah para penghela sejarah Amerika Latin pada awal abad ke-21, para penyuara yang bergemuruh memecah beratus tahun kesunyian.

Dengan Lugo, percakapan pertama terjadi dalam ”pelarian malam” dari rumahnya yang bertipe RS (rumah sederhana) di kawasan Lambare, Asuncion, dan dilanjutkan keesokan paginya di ruang tamu Casa Central de SVD (Sociedad de Verbo Divino) tempat kami sama-sama bermalam di pinggiran Asuncion dan pada akhirnya dilanjutkan di San Pedro.

Sementara Chavez baru bisa saya ajak berbicara keesokan harinya di San Pedro. Sambil menikmati yerba mate (teh khas Amerika Selatan) yang diminum secara bergiliran dari cangkir kayu yang sama, bercakap dengan penghela sejarah ini seperti membaca kembali buku-buku Amerika Latin yang pernah saya baca semasa saya masih aktif mengorganisasi petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur sekitar 18 tahun silam.

Di banyak negeri Amerika Latin, para pemimpin tak berhenti menyerukan perjuangan kawasan yang lebih berdaulat dan adil di hadapan orang-orang tak berpunya di perkotaan hingga para petani tak bertanah yang berusaha bebas dari beratus tahun kesunyian.

Perjuangan sosialisme abad ke-21 sebagai antitesis neoliberalisme ini juga bisa dilihat sebagai tindakan subversif yang tak terelakkan dalam transformasi besar-besaran di Amerika Latin Raya. Saya merasa senang berkesempatan belajar secara langsung dari para pemimpin patriotik Amerika Latin ini.

Pencuri harus membayar

”Orang harus bayar apa yang telah mereka curi!” demikian seru Fernando Lugo dengan lantang saat menyampaikan pidato pelantikannya dalam bahasa Spanyol dan Indian Guarani.

Presiden sosialis ini melanjutkan bahwa dia pun akan membayar jika gagal memenuhi segala yang telah disampaikannya saat dia berjanji, ”Saya akan mengundurkan diri kalau nanti di Paraguay ada orang yang tak bisa tidur karena takut atau tidak bisa tidur karena lapar. Ini bukan janji kosmetik, tapi akan saya tuangkan dalam kesepakatan sosial (pacta social). Saya juga berjanji bahwa mulai sekarang rakyat Paraguay adalah pemilik masa depan yang sah atas ekonomi dan semua kekayaan alam ini.”

Rupanya, bagi orang seperti Lugo, ada yang jauh lebih berharga daripada sekadar menempatkan dirinya sebagai presiden Paraguay, jauh lebih heroik daripada sekadar mengganti tradisi kepemimpinan negerinya yang selama ini dikuasai kalangan oligarki terkorup di dunia oleh dirinya.

Jauh lebih strategis daripada memenangi dan mempertahankan jabatan kepresidenan serta jauh lebih berkeringat daripada sekadar menjual slogan dan wajah melalui advertorial/iklan politik di media cetak dan TV (Lugo tidak punya cukup uang untuk itu).

Saat Lugo menjanjikan akan menuntut para pencuri untuk membayar apa yang pernah mereka curi, itu bukan karena dia seorang polisi atau mau membujuk rakyat agar memilihnya menjadi presiden, melainkan pertama-tama adalah karena dia bukan pencuri.

Ini kemudian terbukti ketika pada hari Minggu, 17 Agustus lalu, dia untuk pertama kalinya masuk istana, Lugo mengajak saya, wartawan Kompas Rikard Bagun, dan Martin Bhisu, mantan sekretaris pribadi Lugo ketika masih menjadi uskup, untuk duduk di samping meja kerjanya.

Selama empat jam kami diminta menyaksikan dia memeriksa dan menandatangani 100 dekrit, di antaranya mengenai reformasi birokrasi yang merupakan salah satu yang terkorup di dunia, distribusi tanah untuk petani tak bertanah, penanganan kaum Indian dan sebagainya, di hadapan sejumlah menterinya.

Sekarang pengagum Bung Karno ini memiliki kesempatan dengan kekuasaan yang dimilikinya sebagai presiden untuk menjadikan pemerintahannya sebagai perisai bagi mereka yang sudah lama tak berpengharapan, tapi yang tak pernah rela membunuh harapan itu sendiri.

Chavez dan dunia ketiga

Saat di San Pedro, saya dan Rikard diperkenalkan oleh Martin Bhisu dengan Hugo Chavez di ruang makan tempat pertemuan. Sehari sebelumnya, di istana kepresidenan di Asuncion, Martin sempat berpelukan erat dengan Chavez dan mengatakan. ”Chavez, tatap mata saya. Saya dari Indonesia. Saya kawan seperjuangan Lugo dalam iman dan perjuangan. Besok kita ketemu lagi di San Pedro dengan dua rekan saya dari Indonesia….” Saat itu Chavez menjawab, ”Si…. Si…. Indonesia. Manana…Si, companero!” (Ya… ya… Indonesia. Besok…ya, Bung).

Begitu besoknya dia bertemu saya setelah acara dengan Lugo, dia spontan berkata, ”Saya tahu Indonesia…. Saya menyukai Indonesia…. Viva Indonesia!” dan segera saya jawab, ”Viva Venezuela!”

Saya bertanya ke Chavez mengapa dia begitu peduli dengan perkembangan politik di Paraguay dan juga mengapa dia menyukai Indonesia. Tanpa jeda dia langsung menjawab, ”Saya ingin dikenal sebagai sahabat negeri-negeri dunia ketiga.”

Dari Lugo dan Chavez, pelajaran yang serta-merta saya peroleh adalah bahwa kesederhanaan, keberanian, dan solidaritas membuat banyak hal baik menjadi mungkin. Ketiga pelajaran itu memerdekakan kita dari keraguan dan ketakutan akan kesendirian yang melumpuhkan diri.

Budiman Sudjatmiko Penggiat Politik

Belajar dari "Nasionalisasi" Migas Venezuela


Jumat, 7 November 2008 | 01:43 WIB

Oleh WANDY N TUTUROONG

Sosialisme yang ”lahir kembali” di Amerika Latin tak terlepas dari upaya ”nasionalisasi” minyak dan gas yang dipelopori Hugo Chavez di Venezuela dan Evo Morales di Bolivia.

i Venezuela, perusahaan migas negara, PDVSA, yang selalu merugi, pada tahun 2004 berpendapatan sebesar 64,5 miliar dollar AS sebagai dampak awal nasionalisasi. Tahun berikutnya, perusahaan ini menyumbang negara sebesar 10,3 miliar dollar AS, termasuk pajak, royalti, serta program- program sosial.

Dengan selesainya sertifikasi cadangan minyak terbesarnya di Sungai Orinoco, Venezuela sekarang menjadi produsen minyak terbesar di dunia setelah menambah cadangan minyaknya dari 77 miliar barrel menjadi 312 miliar barrel, melampaui cadangan minyak terbesar dunia di Arab Saudi sebesar 260 miliar barrel.

Apa rahasia sukses nasionalisasinya Chavez? Ini bukan nasionalisasi buta, melainkan renegosiasi yang menguntungkan negara ataupun asing meskipun porsi kepemilikan negara menjadi lebih besar, mencapai 60 persen. Dengan model kerja sama ini dan dengan cadangan minyak yang sangat menjanjikan di Orinoco, wajar jika perusahaan-perusahaan asing, kecuali ExxonMobil, bisa menerima renegosiasi yang ditawarkan Chavez.

Sementara itu, ExxonMobil sebagai perusahaan swasta migas terbesar di dunia yang membawa kasus ini ke arbitrase internasional harus gigit jari karena—pada pertengahan Maret 2008—Royal Court of Justice di London memenangkan PDVSA.

Keberanian Chavez melakukan renegosiasi pun didahului dengan penyelidikan yang mendalam. Setelah Chavez memperkenalkan Undang-Undang Hidrokarbon baru (2001), dia memerintahkan kajian legal untuk menyelidiki berbagai penyimpangan dan ketidaktransparanan dalam pengelolaan sektor migas.

Tak mudah untuk melakukannya. Perlawanan dilakukan oleh oligarki bisnis dan politik yang waktu itu menguasai PDVSA. Mereka bahkan mendalangi kudeta militer sayap kanan terhadap Chavez tanggal 11 April 2002.

Kajian legal

Hasil kajian legal tentang bisnis perminyakan menyingkap praktik pengelolaan migas yang sangat merugikan negara, tetapi menguntungkan perusahaan- perusahaan multinasional. Mulai dari regulasi hingga operasi.

Pertama, pembajakan substansi undang-undang. Ditemukan upaya sistematik untuk memutarbalikkan substansi dari berbagai undang-undang dan regulasi migas di Venezuela. Kontrol negara atas migas dipreteli. Negara bahkan tidak harus memiliki saham sama sekali.

Kedua, penghilangan peran negara dalam penetapan harga. Negara bukan saja tidak punya kontrol atas harga, tetapi juga terhadap penilaian atas royalti dan pajak pendapatan yang menjadi hak negara.

Ketiga, penghilangan potensi pemasukan bagi negara dengan dalih privatisasi. Dengan alasan internasionalisasi dan privatisasi, dilakukan akuisisi terhadap sejumlah sistem penyulingan minyak internasional, khususnya Citgo di AS pada tahun 1986. Namun, yang terjadi adalah kepemilikan silang menyulitkan negara untuk mengetahui berapa besar hak yang seharusnya diperoleh.

Bersembunyi di balik ”rahasia perusahaan”, berbagai keanehan terjadi, mulai dari diskon terhadap harga minyak mentah, penghapusan royalti negara karena adanya diskon tadi, hingga penggunaan pendapatan dari ekspor minyak sebagai jaminan atas utang yang dimiliki anak perusahaan PDVSA (Citgo).

Lalu, sejak tahun 1989 PDVSA mengonsolidasikan rekening-rekeningnya dengan basis global, yang mengakibatkan semua biaya ”internasionalisasi” tadi dijadikan alasan agar dapat mengurangi pajak pendapatan bagi negara. Singkatnya, opportunity costs yang dihibahkan PDVSA bagi mitra-mitra asingnya mencapai 1,03 dollar AS per barrel atau secara total pada tahun 2004 mencapai 11,4 miliar dollar AS.

Keempat, manipulasi izin operasional perusahaan-perusahaan jasa perminyakan. Perusahaan jasa biasa, misalnya, kemudian dijadikan produsen minyak.

Kelima, keganjilan penyelenggaraan outsourcing. Semula untuk pengelolaan ladang-ladang minyak yang kurang produktif, tetapi belakangan diperlebar ke ladang-ladang yang masih aktif

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2003, jasa yang harus dibayarkan kepada perusahaan-perusahaan kontraktor ini rata-rata 18,17 dollar AS per barrel atau mencapai 52 persen dari harga jual minyak Venezuela saat itu. Padahal, jika melakukan sendiri, PDVSA hanya perlu biaya sekitar empat dollar AS per barrel!

Keenam, ketidakadilan perjanjian kerja sama. Perjanjian kerja sama, khususnya dalam mengelola minyak mentah di Orinoco, menempatkan PDVSA dan negara dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Selain kepemilikan saham PDVSA yang minoritas, royalti yang seharusnya diterima negara pun ditekan dari 16,3 persen menjadi tinggal 1 persen dan pajak pendapatannya pun sama dengan pajak nonminyak yang hanya sebesar 34 persen.

Ketujuh, sabotase sistematik dokumen-dokumen perjanjian kerja sama. Dua buah proyek dalam perjanjian kerja sama yang ditandatangani tahun 1993 adalah Sincor dan Petrozuata. Rekanan dalam proyek Sincor adalah Total dengan saham 47 persen, Statoil (15 persen) dan PDVSA (38 persen). Sementara dalam Petrozuata, ConocoPhillip memegang 50,1 persen saham dan PDVSA memegang sisanya, sebesar 49,9 persen.

Dalam proyek Sincor semestinya produksi yang diizinkan hanya 114.000 barrel per hari, tetapi kenyataannya 210.000-250.000 barrel per hari. Selain itu, luas wilayah eksploitasi yang semestinya hanya 250 kilometer persegi dengan jumlah cadangan minyak sebesar 1,5 miliar barrel telah diperluas secara ilegal menjadi 324 kilometer persegi dengan jumlah cadangan sebesar 2,5 miliar barrel. Ini pun dengan rencana lanjutan untuk memperluasnya lagi dengan tambahan wilayah eksploitasi 170 kilometer persegi.

Berbagai resep kerja sama canggih yang ditawarkan mitra-mitra asing PDVSA bermuara pada dua kerugian utama negara, yakni (1) terkurasnya sumber daya alam tak terbarukan, dan (2) hilangnya potensi pendapatan negara dari sisi fiskal berupa royalti, pajak pendapatan, pajak ekspor, serta dividen. Berkurangnya pendapatan fiskal dari minyak selama sepuluh tahun (1993 hingga 2002) dibandingkan dengan 17 tahun sebelumnya (1976-1992) mencapai 34 miliar dollar AS atau berkurang 3,4 miliar dollar AS per tahun.

Sekarang, pendapatan dari bidang migas di Venezuela sudah transparan. Kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat pun diperjelas. PDVSA bahkan sekarang berhasil menjadi perusahaan migas nomor tiga terbesar di dunia (setelah Exxon dan Chevron) dan menawarkan minyak murah untuk kebutuhan warga miskin di New York, Alaska, dan London.

Sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dengan demikian, pertanyaannya sekarang adalah: mungkinkah hal semacam itu juga terjadi di Indonesia yang masih ”mustahil” ini?

Wandy N Tuturoong Bergiat di Lembaga Kajian dan Penerbitan ALA Solidarity (Asia, Latin America, and Africa Solidarity)

Altar di Ladang Rakyat (Paraguay)


Jumat, 7 November 2008 | 00:58 WIB

Rikard Bagun

Altar dan mimbar yang selalu diagungkan di tempat yang tinggi telah diturunkan jauh ke bawah, ke ladang rakyat, ke tengah permukiman kumuh perkotaan dan lingkungan petani gurem di banyak negara Amerika Latin. Luar biasa!

Ayat-ayat suci pun dibahas dalam kesederhanaan bahasa rakyat di bawah pohon singkong, jagung, jeruk dan pisang, tidak jauh dari rumpun tomat dan sayur-sayuran sebagai tanaman kehidupan dalam arti sesungguhnya.

Percakapan tentang ayat suci, yang menjadi acuan utama dan pertama neososialisme Amerika Latin, semakin menggairahkan karena bersentuhan langsung dengan tanah sebagai ibu (motherland), ayah (fatherland), rumah (homeland), yang memiliki watak kesucian (holy land), sumber impian (dreamland), sumber nafkah yang sangat menjanjikan (promised land).

Ajaran agama benar-benar dibumikan. Namun, tantangan juga muncul karena tanah menjadi isu sensitif oleh struktur kepemilikan tidak adil seperti fenomen latifundista (kepemilikan tanah di atas 100 hektar), yang menjadi gejala umum di berbagai negara di Amerika Latin. Sekadar ilustrasi, 77 persen lahan Paraguay dikuasai hanya oleh 1 persen dari 6,5 juta penduduk.

Kontras dengan kehidupan para tuan tanah yang eksklusif, petani kecil dan gurem terus menghimpun diri dalam komunitas basis, berbincang tentang nasib dalam perspektif iman.

Tanpa harus menyebut neososialisme, anggota komunitas basis menjalankan prinsip kebersamaan, kepedulian, solidaritas, dan saling membantu, yang dalam budaya Indonesia disebut gotong royong.

Prinsip dasar, yang paralel dengan ajaran agama itu diikat kuat pada komitmen kegiatan harian pribadi dan kelompok pada lingkungan komunitas basis.

Spiritualitas keagamaan ditransformasikan menjadi praxis (refleksi dan praktik) sebagai pergulatan yang bersifat pragmatis untuk melawan kemelaratan dan kemiskinan.

Gerakan perlawanan terhadap kemiskinan dan kemelaratan pun dimulai dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yang bagi masyarakat pedesaan tidak bisa lain harus melalui usaha menanam.

Pengaruhnya luar biasa. Anggota komunitas basis dapat menghasilkan sesuatu untuk dikonsumsi dan mengonsumsi apa yang dihasilkan. Kemandirian ekonomi pada level elementer pun terbentuk, yang bersinggungan langsung dengan peningkatan kesadaran iman pada kelompok alas rumput.

Orientasi yang begitu kuat pada tindakan, pragmatisme, dan praxis dalam kehidupan beragama di Amerika Latin membuat para agamawan meninggalkan retorika dan khotbah berpanjang-panjang. Ritual keagamaan di rumah-rumah ibadat berlangsung singkat, tetapi kuat menyapa kepentingan masyarakat.

Kecemasan tentang kemurnian ajaran agama tetap dianggap penting, tetapi lebih diperlukan lagi sensitivitas terhadap realitas kehidupan orang miskin dan menderita.

Lama sebelum terpilih menjadi presiden Paraguay tahun 2008 ini, Fernando Lugo pernah menggugat, mengapa kaum agamawan begitu cemas dengan ”rok mini”, tetapi tidak sensitif terhadap kemelaratan dan kemiskinan yang sangat menyiksa lahir batin rakyat.

Altar kurban

Ajaran agama telah menjadi sesuatu yang organik, hidup, dan dinamis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di banyak negara Amerika Latin, lebih-lebih belakangan ini.

Sudah terlalu lama, bahkan sampai ratusan tahun, ayat-ayat suci cenderung dimanipulasi sebagai retorika yang hanya menimbulkan gaung besar dan keasyikan bagi pemuka agama, tetapi kurang memberi makna bagi kehidupan rakyat banyak.

Arus balik terjadi tahun 1960-an saat kalangan agamawan menyadari betapa makna kehidupan beragama akan terancam, hambar, dan terasing jika masyarakat terus dikepung oleh kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan.

Perubahan kesadaran itu tidak datang tiba-tiba, tetapi sebagai antitesis terhadap situasi tertekan yang berlangsung puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, sejak zaman kolonial.

Namun, perkembangan itu tidak bisa dibayangkan jika tidak dikelola para agen perubahan yang berada di garis depan gerakan Teologi Pembebasan sejak awal tahun 1970-an.

Teologi Pembebasan antara lain bertujuan menyadarkan masyarakat bagaimana melepaskan diri dari kemiskinan. Namun, gerakan itu sempat menimbulkan kecurigaan di kalangan elite dan penguasa pada era Perang Dingin, lebih-lebih karena gugatan terhadap kesenjangan sosial, ketimpangan ekonomi, dan kemiskinan.

Bahkan, terkenal ucapan Dom Helder Camara dari Brasil, ”Ketika saya memberi makanan kepada orang miskin, saya dianggap orang baik. Tetapi, saat saya mempersoalkan kenapa mereka miskin, saya dituduh komunis.”

Camara dan para agamawan lainnya tergerak turun ke bawah, menyatu dalam pola hidup sederhana dengan masyarakat miskin dan menderita. Sikap pembelaan dan pemihakan terhadap kaum miskin dan terpinggirkan begitu jelas dan nyata.