Senin, 01 Desember 2008

Satu Menit Bertemu Lenin...


KOMPAS/SUBHAN SD / Kompas Images
Patung Lenin di Taman Kaluzhskaya, salah satu simbol Uni Soviet pada masa silam, terlihat di antara mobil impor yang merajai jalanan kota Moskwa.
Senin, 1 Desember 2008 | 03:00 WIB

Lenin pasti tak membayangkan, kapitalisme yang dulu dilawannya kini menguasai bangsa Rusia. Produk kapitalis telah memermak wajah komunis yang hancur hampir 20 tahun silam. Rusia telah berubah menjadi sebuah bangsa yang berlomba-lomba menuju kemakmuran pribadi.

Boleh jadi, itulah makna wajah Lenin yang terlihat pucat di tempat peristirahatan terakhirnya di sebuah musoleum di depan Kremlin, simbol kekuasaan Rusia. Jasad Lenin yang dibalsam itu terbujur kaku di peti mati dengan tangan kanan mengepal dan tangan kiri diletakkan di atas paha, terus membisu sejak kematiannya pada tahun 1924.

Saat memasuki ruangan musoleum itu akhir September lalu, Kompas bukan saja harus menanggalkan segala barang bawaan, tetapi juga harus antre. Di dalam makam itu setidaknya ada 7-8 aparat menjaga tokoh Revolusi Bolshevik tahun 1917 itu, termasuk mengamati gerak-gerik pengunjung. Berhenti sejenak saja dilarang. Paling-paling hanya satu menit untuk melihat dan mengelilingi jasad Lenin itu.

Di balik tembok musoleum, persis di seberangnya, dihubungkan Lapangan Merah sejarak 130 meter, pusat perbelanjaan Gum, yang merupakan produk kapitalis, seakan mencibir Lenin dan simbol-simbol komunisme. Di mal itu, anak-anak muda Moskwa berseliweran membeli produk Emporio Armani, Versace, Bvlgari, Gucci, DKNY, Dolce & Gabbana, Hugo Boss, dan lain-lain.

Dalam radius 500 meter dari makam Lenin, wajah kapitalisme begitu mencolok. Mal-mal baru terus dibangun. Iklan-iklan konsumtif menghiasi wajah Moskwa. Bahkan, hingga hari ini, restoran McDonald’s tetap penuh dan antrean panjang setiap hari. Mobil-mobil mewah keluaran paling baru berlalu lalang di jalan-jalan, mulai produk Hyundai, Toyota, Honda, Mazda, Volvo, Audi, BMW, Mercedez- Benz, Range Rover, hingga Rolls-Royce. Sementara produk dalam negeri sendiri, Lada, nyaris tak berdaya tergencet produk impor itu.

Produk atau simbol kebesaran Uni Soviet kini benar-benar cuma menjadi benda sejarah. Selain Lenin yang terbujur, di belakangnya tampak makam pemimpin Uni Soviet seperti Stalin, Brezhnev, Andropov, Chernenko dengan patung kepala masing-masing. Produk lainnya berupa pin berlambang ”palu-arit” hanya menjadi cendera mata bagi wisatawan. Pelesetan di kaus-kaus terbaca, ”McLenin’s, The Party is Over”.

Orang kaya

Ekonomi Rusia—pewaris utama Uni Soviet—kini berada dalam pusaran air yang deras. Sejak komunisme tumbang dan kemudian muncul Federasi Rusia tahun 1991, paradigma ekonomi negeri itu tidak lagi pada sistem terpusat (state-run economy). Ekonomi pasar (market economy) justru kian diminati. Kompetisi individu semakin terasa. Setiap hari di stasiun metro (kereta bawah tanah) ribuan kaum profesional hilir mudik ke tempat kerja mereka. Irama langkah kaki mereka yang begitu cepat seakan menandakan kegesitan mereka melakoni hidup dalam tatanan baru.

”Sekarang Rusia telah berubah. Berbeda dengan zaman di masa komunisme. Sekarang orang Rusia harus bekerja keras. Mereka yang mau makan, ya harus bekerja keras. Kalau tidak bekerja keras, tidak dapat makan,” kata Svet Zakharov, pengajar bahasa Indonesia di Akademi Diplomat di Moskwa. Saat ini pendapatan per kapita penduduk Rusia 11.200 dollar AS.

Ladang-ladang minyak dan tambang, yang sejak lampau menjadi sumber ekonomi negeri itu, kian melahirkan kelas baru. Mereka yang dulu hidup dalam tatanan kepemilikan kolektif, kini memahami dan menikmati betul arti kekayaan pribadi. Tak mengherankan, orang-orang kaya terus bermunculan. Setidaknya ada 74 miliuner dunia tinggal di Moskwa. Jumlah itu boleh jadi melampaui kota-kota lain. Padahal, tahun 1998, Rusia masih dilanda krisis ekonomi.

Dalam daftar orang kaya dunia tahun 2008 yang dilansir Forbes, posisi orang Rusia cukup mencolok. Oleg Deripaska (40) yang menguasai sektor energi, konstruksi, manufaktur, finansial, penerbangan dengan 300.000 tenaga kerja berada pada peringkat ke-9 orang. Ia memiliki kekayaan 28,6 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 260 triliun.

Orang pun tahu, Roman Abramovich (41) adalah miliuner Rusia pemilik klub sepak bola di Inggris, Chelsea. Dengan kekayaan 23,5 miliar dolar AS, orang terkaya ke-15 di dunia ini dengan gampang membeli pemain-pemain dan pelatih sepak bola terbaik dan termahal di jagat bumi ini sesuai keinginannya.

Miliuner lainnya di deretan top dunia di antaranya Alexei Mordashov (42) dengan kekayaan 21,2 miliar dollar AS (urutan ke-18), Mikhail Fridman (43) dengan kekayaan 20,8 miliar dollar AS (20), Vladimir Lisin (51) dengan kekayaan 20,3 miliar dollar AS (21), Mikhail Prokhorov (42) dengan kekayaan 19,5 miliar dollar AS (24), dan Vladimir Potanin (47) dengan kekayaan 19,3 miliar dollar AS (25). Bahkan, sebagian masih berusia muda, seperti Sergei Popov (36 tahun) dengan harta 6,4 miliar dolar AS (149), Andrey Melnichenko (36) dengan kekayaan 6,2 miliar dollar AS (158), Kirill Pisarev (38) dengan kekayaan 61,1 miliar dollar AS (160), dan Yuri Zhukov (38) dengan kekayaan 6,1 miliar dollar AS (160).

Gaya hidup orang kaya Rusia juga tidak tanggung-tanggung. Mereka tak lagi bicara nilai nominal uang asalkan hasrat tercapai. Gaya orang kaya Rusia bahkan dianggap merusak pasar di Eropa.

Pada Agustus lalu, misalnya, vila Leopolda di Riviera, Perancis, dibeli miliuner Rusia seharga 500 juta euro (sekitar Rp 6,5 triliun). Harga itu dinilai melampaui batas kemewahan. Tak ada lagi yang berani mengajukan penawaran. Semua pesaingnya pun mundur. Sejak ekonomi Rusia berkibar, memang orang-orang kaya Rusia itu terus memburu properti di berbagai negara.

Keadaan ekonomi itu justru membuat jurang perbedaan kelas kian terbuka. Seiring munculnya orang kaya itu, kaum papa pun tak terbendung. Di Lapangan Merah, misalnya, sejumlah peminta mengumpulkan rubel recehan dari para pengunjung atau wisatawan. Apa mau dikata perubahan ekonomi yang begitu dahsyat membawa implikasi sosial di negeri yang kini dipimpin Dmitry Medvedev itu.

Kota termahal

Konsekuensi perubahan sistem ekonomi, harga tidak lagi dikendalikan negara. Semuanya bergantung pada pasar. ”Sekarang ini harga-harga amat mahal. Dulu semua harga murah karena dikendalikan,” kata Ivan, pemuda yang ditemui di kawasan pedestrian di Jalan Arbat. Contoh kecil, air mineral ukuran 600 mililiter di kios pinggir jalan harganya 40 rubel atau sekitar Rp 12.000. Di Indonesia, harga air mineral seukuran itu tak lebih dari Rp 1.500.

Tak mengherankan, Moskwa menjadi kota termahal di dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Menurut survei, biaya hidup yang dilakukan Mercer (2008), dari 143 kota di dunia, Moskwa menempati posisi teratas dengan skor 142,4, naik 6 persen dari tahun lalu. New York yang merupakan kota termahal di Amerika Serikat berada di urutan ke-22. Ternyata hidup di Tokyo, London, Oslo, dan Seoul tak semahal di Moskwa. Tatkala nilai tukar dollar AS jatuh di pasar global, nilai tukar rubel justru menguat hingga 8 persen sejak Januari lalu.

Kini, setelah ekonomi AS yang kapitalistik terguncang hebat, bukan mustahil Rusia kian kokoh menjadi raksasa ekonomi baru. Negara adidaya yang terpuruk dalam beberapa tahun itu tengah membangun imperiumnya kembali. Lenin barangkali akan tersenyum dengan kekuatan Rusia yang kembali diperhitungkan seperti di masa Perang Dingin.

Akan tetapi, boleh jadi ia akan terkaget-kaget karena yang membawa ke arah itu bukan komunisme. Maaf, kini orang bicara soal perut, bukan lagi ideologi, kamerad! (Subhan SD)