Sabtu, 08 November 2008

Altar di Ladang Rakyat (Paraguay)


Jumat, 7 November 2008 | 00:58 WIB

Rikard Bagun

Altar dan mimbar yang selalu diagungkan di tempat yang tinggi telah diturunkan jauh ke bawah, ke ladang rakyat, ke tengah permukiman kumuh perkotaan dan lingkungan petani gurem di banyak negara Amerika Latin. Luar biasa!

Ayat-ayat suci pun dibahas dalam kesederhanaan bahasa rakyat di bawah pohon singkong, jagung, jeruk dan pisang, tidak jauh dari rumpun tomat dan sayur-sayuran sebagai tanaman kehidupan dalam arti sesungguhnya.

Percakapan tentang ayat suci, yang menjadi acuan utama dan pertama neososialisme Amerika Latin, semakin menggairahkan karena bersentuhan langsung dengan tanah sebagai ibu (motherland), ayah (fatherland), rumah (homeland), yang memiliki watak kesucian (holy land), sumber impian (dreamland), sumber nafkah yang sangat menjanjikan (promised land).

Ajaran agama benar-benar dibumikan. Namun, tantangan juga muncul karena tanah menjadi isu sensitif oleh struktur kepemilikan tidak adil seperti fenomen latifundista (kepemilikan tanah di atas 100 hektar), yang menjadi gejala umum di berbagai negara di Amerika Latin. Sekadar ilustrasi, 77 persen lahan Paraguay dikuasai hanya oleh 1 persen dari 6,5 juta penduduk.

Kontras dengan kehidupan para tuan tanah yang eksklusif, petani kecil dan gurem terus menghimpun diri dalam komunitas basis, berbincang tentang nasib dalam perspektif iman.

Tanpa harus menyebut neososialisme, anggota komunitas basis menjalankan prinsip kebersamaan, kepedulian, solidaritas, dan saling membantu, yang dalam budaya Indonesia disebut gotong royong.

Prinsip dasar, yang paralel dengan ajaran agama itu diikat kuat pada komitmen kegiatan harian pribadi dan kelompok pada lingkungan komunitas basis.

Spiritualitas keagamaan ditransformasikan menjadi praxis (refleksi dan praktik) sebagai pergulatan yang bersifat pragmatis untuk melawan kemelaratan dan kemiskinan.

Gerakan perlawanan terhadap kemiskinan dan kemelaratan pun dimulai dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yang bagi masyarakat pedesaan tidak bisa lain harus melalui usaha menanam.

Pengaruhnya luar biasa. Anggota komunitas basis dapat menghasilkan sesuatu untuk dikonsumsi dan mengonsumsi apa yang dihasilkan. Kemandirian ekonomi pada level elementer pun terbentuk, yang bersinggungan langsung dengan peningkatan kesadaran iman pada kelompok alas rumput.

Orientasi yang begitu kuat pada tindakan, pragmatisme, dan praxis dalam kehidupan beragama di Amerika Latin membuat para agamawan meninggalkan retorika dan khotbah berpanjang-panjang. Ritual keagamaan di rumah-rumah ibadat berlangsung singkat, tetapi kuat menyapa kepentingan masyarakat.

Kecemasan tentang kemurnian ajaran agama tetap dianggap penting, tetapi lebih diperlukan lagi sensitivitas terhadap realitas kehidupan orang miskin dan menderita.

Lama sebelum terpilih menjadi presiden Paraguay tahun 2008 ini, Fernando Lugo pernah menggugat, mengapa kaum agamawan begitu cemas dengan ”rok mini”, tetapi tidak sensitif terhadap kemelaratan dan kemiskinan yang sangat menyiksa lahir batin rakyat.

Altar kurban

Ajaran agama telah menjadi sesuatu yang organik, hidup, dan dinamis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di banyak negara Amerika Latin, lebih-lebih belakangan ini.

Sudah terlalu lama, bahkan sampai ratusan tahun, ayat-ayat suci cenderung dimanipulasi sebagai retorika yang hanya menimbulkan gaung besar dan keasyikan bagi pemuka agama, tetapi kurang memberi makna bagi kehidupan rakyat banyak.

Arus balik terjadi tahun 1960-an saat kalangan agamawan menyadari betapa makna kehidupan beragama akan terancam, hambar, dan terasing jika masyarakat terus dikepung oleh kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan.

Perubahan kesadaran itu tidak datang tiba-tiba, tetapi sebagai antitesis terhadap situasi tertekan yang berlangsung puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, sejak zaman kolonial.

Namun, perkembangan itu tidak bisa dibayangkan jika tidak dikelola para agen perubahan yang berada di garis depan gerakan Teologi Pembebasan sejak awal tahun 1970-an.

Teologi Pembebasan antara lain bertujuan menyadarkan masyarakat bagaimana melepaskan diri dari kemiskinan. Namun, gerakan itu sempat menimbulkan kecurigaan di kalangan elite dan penguasa pada era Perang Dingin, lebih-lebih karena gugatan terhadap kesenjangan sosial, ketimpangan ekonomi, dan kemiskinan.

Bahkan, terkenal ucapan Dom Helder Camara dari Brasil, ”Ketika saya memberi makanan kepada orang miskin, saya dianggap orang baik. Tetapi, saat saya mempersoalkan kenapa mereka miskin, saya dituduh komunis.”

Camara dan para agamawan lainnya tergerak turun ke bawah, menyatu dalam pola hidup sederhana dengan masyarakat miskin dan menderita. Sikap pembelaan dan pemihakan terhadap kaum miskin dan terpinggirkan begitu jelas dan nyata.

Tidak ada komentar: