Minggu, 31 Agustus 2008

Membaca Fenomena Artis-Politisi


Publik mungkin akan banyak bertanya mengapa kini banyak artis menjatuhkan pilihan untuk maju dalam kontestasi politik, baik pada kuasa eksekutif maupun legislatif? Atau mengapa partai politik kini banyak menjadikan artis sebagai figur politik yang banyak 'dijual' dalam sejumlah kontestasi politik? 

Setelah Saiful Jamil (artis penyanyi) maju menjadi bakal calon wakil wali kota Serang, Banten, dari pasangan Kirtam, kini Primus Yustisio (artis film) memutuskan hal serupa sebagai bakal calon bupati untuk Pilkada Subang, Jawa Barat, periode 2008-2013. Dia didampingi oleh bakal calon wakil bupatinya, Agus Nurani, yang berlatar belakang militer dan kini menjabat Kepala Desa Blanakan. 

Beberapa minggu terakhir, publik juga disuguhi dengan berita politik mengenai majunya sejumlah artis sebagai calon anggota legislatif. Partai seperti Golkar, PDIP, hingga PAN tertarik untuk mengusung mereka. 

Ada dua faktor konkret yang bisa kita gunakan untuk menjawab pertanyaan publik di atas. Pertama, bahwa kuatnya syahwat politik para artis untuk maju sebagai pasangan calon dalam sejumlah pilkada sangat kuat diinspirasi oleh pengalaman politik di lapangan sejumlah pilkada di Indonesia. Majunya sejumlah artis sebagai calon pasangan dalam pengalaman itu berbuah kemenangan. 

Publik pun diingatkan kembali dengan kemenangan manis Rano Karno (sebagai wakil bupati) dan Dede Yusuf (sebagai wagup), masing-masing pada pemilihan Kabupaten Tangerang Banten dan Provinsi Jawa Barat beberapa waktu lalu. 

Kemenangan dua artis film di atas seakan menghipnosis kekuatan-kekuatan politik, baik melalui jalur partai maupun independen. Bahkan publik pun seakan melupakan pengalaman politik pahit lain dari kegagalan seorang artis dalam pilkada, yakni artis komedian Qomar yang gagal meraih kemenangan pada pilkada Indramayu. 

Kedua, bahwa popularitas menjadi kata kunci bagi kuatnya syahwat politik para artis untuk maju dalam pilkada, dan atau kuatnya kehendak politik sejumlah kekuatan politik untuk mengusung artis sebagai calon yang dipertarungkan. Di tengah macetnya mesin politik partai-partai besar dalam kontestasi politik sejumlah pilkada, figur calon yang berlatar belakang artis menjadi signifikan sebagai penderek suara pemilih. Popularitas menjadi modal paling besar dari figur artis. 

Dalam konteks inilah, apa yang belakangan dalam literatur politik dikenal dengan istilah pop politics (lihat George W Shepherd, Popular Politics, 1998) menemukan wadah penyemaiannya. Anggitan pop politics tersebut menandai perkawinan antara dunia pop dan politik. Artis-politisi (atau politisi yang berlatar belakang artis) merupakan sebuah eksemplar par excellent dari perkawinan dua dunia dimaksud. Jika dunia pop telah bertemu dengan politik, hasilnya adalah sukses dalam kontestasi kuasa politik. 



Parameter 

Tentu tidak semua latar belakang artis berbuah kesuksesan. Latar belakang artis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah latar belakang artis yang menjadi kiblat (trendsetter) dunia pop bagi masyarakat. Sebagai contoh konkret, mengapa latar belakang keartisan yang sama berakhir dengan cerita yang berbeda seperti dalam kasus Rano, Dede, dan Komar di atas? 

Parameternya jelas. Yakni keartisan yang bisa menjadi trendsetter bagi masyarakat. Bukan sekadar keartisan semata. Artis film dan musik lazim menjadi bagian penting dari lahirnya artis trendsetter dalam budaya pop. Selain Rano dan Dede sebagai contoh sukses artis film untuk konteks lokal Indonesia, kemenangan Arnold Schwarzenegger pada pemilu recall gubernur di California pada tahun 2003 juga menjadi bukti penting dari kekuatan artis film. 

Cerita sukses artis film dalam kontestasi kuasa politik di atas menjadi penanda pentingnya budaya pop bagi upaya untuk melihat kecenderungan perilaku pemilih. Sebab, budaya pop mendorong munculnya komodifikasi gaya hidup tertentu. Karena itu, simbol telah dijadikan komoditas budaya, dan selanjutnya gaya hidup. Melalui penciptaan gaya hidup populer ini, budaya pop memiliki kapasitas besar untuk menjadi trendsetter. 

Budaya pop telah menjadi arus baru kehidupan populer publik. Arus sosio-kultural ini cenderung menyebabkan para pelaku budaya pop yang berkapasitas besar sebagai trendsetter, seperti artis film dan musik, untuk memiliki daya tawar dan signifikansi politik yang tinggi menyusul popularitasnya yang tinggi pula. Ujungnya, mereka menjadi figur baru alternatif di tengah karut-marutnya praktik penyelenggaraan kuasa dan kewenangan politik yang terjadi. 

Karena itulah, penggunaan identifikasi pasangan Khofifah-Mudjiono dengan lagu Ayat-ayat Cinta dan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf dengan lagu Munajat Cinta pada pilgub Jatim 23 Juli 2008 harus diletakkan dalam konteks pembacaan pop politics. Pesannya adalah kuatnya budaya pop sebagai trendsetter dan pemantik dukungan politik publik. 



Tantangan 

Namun perlu menjadi catatan bersama, popularitas yang diderek oleh dunia pop keartisan akan menghadapi tantangan yang luar biasa berat jika di suatu wilayah terjadinya kontestasi kuasa politik itu terdapat kekuatan-kekuatan politik tradisional yang masih kuat mencengkeram. Bentuknya bisa saja kekuatan tradisional etnik-monarkis maupun tradisional keagamaan. 

Kasus Yogyakarta dan Jawa Timur adalah sebagai contohnya. Hemat saya, kekuatan tradisional etnik-monarkis di Yogyakarta akan cenderung sangat sulit untuk ditembus oleh popularitas yang berbasis keartisan. Begitu pula Jawa Timur yang masih menjadi basis kekuatan tradisional keagamaan, di mana kiai masih memiliki signifikansi politik yang tinggi. 

Kemenangan pasangan Muhammad Zainul Majdi, yang lebih dikenal dengan Tuan Guru Bajang, bersama pasangannya Badrul Munir yang diusung oleh PKS dan PPP pada pilgub NTB awal Juli 2008 lalu menjadi bukti lain dari kuatnya signifikansi politik kekuatan tradisional keagamaan. Dalam kultur sosiologis masyarakat NTB, posisi sosio-kultural Tuan Guru tak tertandingi oleh kekuatan sosio-kultural lain. Karena itu, majunya Tuan Guru dalam kontestasi politik merupakan separuh modal kemenangan. 

Di luar wilayah politik yang menjadi basis dari kekuatan tradisional yang masih mengakar, baik etnik-monarkis maupun keagamaan, popuralitas yang berbasis keartisan bisa menjadi alternatif bagi pendulangan suara politik. Dan karena itu pula, Saiful Jamil dan Primus Yustisio akan maju masing-masing dalam pilkada Serang dan Subang. Di wilayah yang kultur sosiologisnya tidak dicengkeram kuat oleh tantangan kekuatan tradisional seperti halnya Yogyakarta, Jawa Timur, dan NTB sebagaimana dijelaskan di atas, akankah keduanya mengikuti jejak manis kedua artis pendahulunya, Rano Karno dan Dede Yusuf? Ataukah akan mengikuti jejak pahit Qomar? Kita tunggu saja. 



Oleh Akh Muzakki, Kandidat PhD di University of Queensland, Australia


Tidak ada komentar: