Kamis, 07 Agustus 2008

Pelajaran dr Pakistan


Jika ada berita tentang Afghanistan dalam beberapa pekan terakhir, hampir seluruhnya tentang peningkatan kekerasan dan terbunuhnya banyak orang. Serangan Taliban, termasuk bom bunuh diri, pada 7 Juli di depan Kedutaan India di Kabul yang menewaskan 40 orang, termasuk tiga orang sekuriti di Kedutaan Indonesia, adalah salah satu contoh saja dari serangkaian meningkatnya kekerasan di Afghanistan. Dalam dua bulan terakhir, korban tewas tentara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya meningkat. Bahkan, pada 13 Juli, tidak kurang sembilan tentara AS terbunuh ketika Taliban menyerbu kamp mereka di Provinsi Kunar, Afghanistan Timur.

Alhasil, Taliban yang semula dianggap telah lumpuh, dalam dua tahun terakhir kelihatan bangkit kembali. Masyarakat dunia boleh tidak suka dengan rezim Taliban yang menggunakan cara-cara represif yang tidak acceptable dalam pemerintahannya. Kenyataannya, mengalahkan Taliban bukanlah hal mudah.

Kekuatan militer AS dan sekutunya yang menyerbu Afghanistan hampir tujuh tahun lalu, sebulan setelah Peristiwa 11 September 2001, tidak berhasil dalam misinya menghancurkan Taliban. Padahal, sudah tidak terhitung biaya operasi militer yang dikeluarkan. Selain itu, tidak kurang 15 miliar dolar AS bantuan internasional telah dihabiskan sejak rezim Taliban ditumbangkan untuk 'rekonstruksi' Afghanistan. Tetapi, kini semua itu tampaknya lebih banyak sia-sia karena Taliban tidak pernah lumpuh, sebaliknya terlihat kian sulit dihadapi.

Sementara itu, pemerintahan Hamid Karzai yang didukung AS dan sekutunya tidak dapat menjalankan pemerintahan secara efektif. Paling banter hanya menguasai Ibu Kota Kabul dan sekitarnya. Bahkan, di provinsi yang dekat dengan Kabul sekalipun, seperti Wardak, Ghazni, dan Logar, kekuatan militer AS dan sekutunya yang dibantu pasukan pemerintah tidak mampu menghalangi peningkatan serangan Taliban. Apalagi, di kawasan timur yang berbatasan dengan Pakistan, di mana Taliban berhasil mengonsolidasikan kekuatannya.

Memang, masih terlalu dini untuk menyatakan AS dan sekutunya akan mengulangi sejarah Soviet yang menyerbu Afghanistan pada 1979; meski memiliki kekuatan militer yang lebih perkasa, akhirnya berhasil diusir para pejuang Afghanistan pada 1985. Jelas, kalah atau menang dalam perang tidak selalu ditentukan kelengkapan dan kecanggihan persenjataan. Ada faktor ideologis yang tidak bisa dimatikan senjata dan inilah yang terus mengobarkan semangat perlawanan mereka yang menjadi sasaran operasi militer pihak asing.

Sayang, banyak negara perkasa, seperti AS dan sekutunya, tidak mau belajar dari sejarah, bahkan dari sejarah Afghanistan sendiri ketika menghadapi invasi Uni Soviet. Amerika juga tak mau belajar dari kekalahan pahit dan keterusirannya dalam Perang Vietnam. Begitu juga ketika AS tidak berdaya menghadapi Ayatullah Khomeini setelah kemenangannya dalam Revolusi Islam Iran pada 1979 yang menumbangkan rezim Shah Pahlevi, sekutu setia Amerika.
Inilah beberapa pelajaran paling penting yang semestinya dicamkan negara yang memiliki kekuatan militer canggih. Jika bijak dengan sejarah, seyogianya penggunaan kekuatan militer ( hard power) dihindari dan lebih mengusahakan soft power melalui dialog, diplomasi, dan cara damai lain. Orang bijak mengatakan, mudah memulai perang, tapi sangat sulit mengakhirinya. Inilah yang terjadi di Afghanistan, juga di Irak.

Kini, AS dan sekutunya terlihat pada tubir kekeliruan sejarah yang sama. Memang, dengan tumbangnya rezim Taliban dan berkuasanya tentara sekutu AS, keadaan di Afghanistan mengalami kemajuan dalam bidang tertentu secara terbatas. Tetapi, secara umum, situasi kini kian memburuk. Semakin banyak warga Afghanistan pesimistis dengan masa depan negara mereka.

Pemerintahan Presiden Bush, yang memerintahkan penyerbuan militer ke Afghanistan dan juga Irak, jelas tidak punya waktu lagi untuk memperbaiki keadaan di Afghanistan. Karena itu, harus diwarisi presiden AS selanjutnya. Calon-calon presiden AS, John McCain dari Partai Republik dan Barack Obama dari Partai Demokrat, mestinya mengambil pelajaran dari fiasco 'kegagalan total' yang dibuat pendahulunya. Tetapi, baik McCain maupun Obama dalam beberapa pernyataannya, jika terpilih, berjanji menggandakan kekuatan militer AS di Afghanistan. Jika ini betul-betul diwujudkan, lengkaplah ketidaksediaan mereka untuk belajar dari sejarah sehingga tragedi Afghanistan pun terus berlanjut.

Tidak ada komentar: