Kamis, 09 Oktober 2008

Kegagalan Pencalonan Wapres di AS


Oleh R William Liddle

Bagaimana sebaiknya proses pencalonan wakil presiden dalam sistem pemerintahan presidensial? Baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat, pilihan calon wapres ditentukan presiden terpilih. Cara itu belum tentu menghasilkan calon terbaik. Lihat apa yang terjadi di AS.

Dalam Partai Demokrat, Barack Obama memilih Joe Biden, senator kawakan dari Negara Bagian Delaware, lelaki, beragama Katolik, berumur 65 tahun. Sementara itu, John Mc Cain, dari Partai Republik memilih Sarah Palin, perempuan, gubernur baru Negara Bagian Alaska, beragama Protestan Evangelis, berusia 44 tahun.

Pertimbangan apa yang digunakan untuk memilih dua orang yang begitu berbeda ini?

Proses pemilihan

Konon, Joe Biden memperkuat tiga kelemahan Obama. Pertama, Biden yang berjasa di Senat sejak 1973—Obama baru masuk tahun 2005—diharapkan meyakinkan para pemilih yang ragu bahwa Presiden Obama akan didampingi politikus matang.

Kedua, sebagai Ketua Panitia Hubungan Internasional di Senat dan ahli kebijakan luar negeri, reputasi Biden melebihi Obama.

Ketiga, Biden juga berhubungan baik dengan buruh, kelompok besar Partai Demokrat.

Dari kubu Partai Republik, mengapa John McCain memilih Sarah Palin sebagai pendampingnya? Mungkin alasan utamanya adalah kedekatan pada social conservatives, kaum Protestan fundamentalis, dan Katolik kanan. Sebagai seorang perempuan, Palin diharapkan menggaet suara perempuan Demokrat yang kecewa setelah Hillary Clinton gagal dipilih partainya sendiri.

Selain itu, McCain dilaporkan amat terkesan saat Palin menyerang korupsi di Partai Republik Alaska. Menurut versi ini, McCain memandang Palin sebagai seorang maverick, individu yang hidup menurut peraturannya sendiri, peran yang selama ini dimainkan McCain di Senat.

Yang hampir luput dari analisis ini adalah perbedaan dalam proses memilih dua cawapres. Jauh sebelum konvensi, Obama membentuk tim untuk menyaring nama-nama calon. Lalu, beberapa kandidat yang masuk short list, calon paling kuat diwawancarai intensif. Proses ini menghasilkan Biden, cawapres yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden jika Obama tidak menyelesaikan masa jabatannya.

Sebaliknya, pada kubu McCain sama sekali tak terdengar kabar adanya prosedur pemilihan cawapres. McCain sendiri dikabarkan berhasrat mengangkat Senator Joe Lieberman, mitra setianya dalam kebijakan garis keras di Timur Tengah. Pilihan itu dilawan staf terdekatnya karena Lieberman ditampik kaum konservatif sosial. Palin dipilih mendadak menjelang konvensi tanpa penelitian. McCain sendiri mengaku baru bertemu satu kali sebelum posisi wapres ditawarkan kepadanya pada Agustus lalu.

Pelajaran

Saat membaca berita itu, bulu roma saya merinding. McCain berumur 72 tahun dan pernah dioperasi kanker melanoma. Jika McCain tidak menyelesaikan masa jabatannya, AS akan dipimpin seorang mantan wali kota dan gubernur negara bagian sebesar satu kabupaten di Indonesia. Yang jelas, masyarakat AS tidak diberi waktu cukup untuk menilai kemampuannya memerintah. Hal itu berbeda dengan posisi Obama, yang menjadi tokoh nasional sejak 2005, dan mulai kampanye presidensial awal 2007.

Keprihatinan saya beralasan. Setelah dicalonkan, Palin berkali- kali gagal menjelaskan sikapnya terkait topik-topik penting saat diwawancarai wartawan televisi nasional. Lalu, tim kampanye melarang Palin berbicara di muka umum sebelum perdebatan pekan lalu ”melawan” Biden. Dalam perdebatan itu, Palin kelihatan menghafal beberapa jawaban pokok. Saat ditanya tentang hal-hal lain, ia mengelak atau memanfaatkan kesempatan untuk mengingatkan para pemilih bahwa dia adalah seorang ibu yang baik dan gubernur yang melawan korupsi di negara bagiannya. Sebaliknya, Biden memperlihatkan pengetahuannya yang dalam dan meyakinkan tentang isu-isu penting yang sedang dihadapi AS. Ia membuktikan kemampuannya menjadi presiden jika Obama tidak menyelesaikan masa jabatannya.

Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini? Dari satu segi, McCain bersalah karena memilih cawapres secara ”tak bertanggung jawab”. Namun, saya juga melihat sebuah kegagalan lembaga dalam kisah ini. Mungkin partai-partai besar di AS terlalu menggantungkan nasibnya tiap empat tahun kepada tokoh-tokoh yang hanya menjadi pemimpinnya selama masa kampanye pendek, antara konvensi dan pemilu, jika tidak berhasil dipilih sebagai presiden. Namun, terus terang saya belum menemukan cara memperbaiki kelemahan ini.

R William Liddle Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus Ohio, AS

Tidak ada komentar: