Kamis, 09 Oktober 2008

Pelajaran dari Pemilu AS


Oleh Abdillah Toha

Alangkah beruntungnya rakyat Amerika Serikat menjelang pemilu yang akan diselenggarakan bulan depan.

Mereka menghadapi pilihan yang jelas dari dua calon yang berbeda. Antara memilih calon yang diajukan Partai Republik dan calon dari Partai Demokrat. Antara kandidat Barack Obama yang menawarkan penarikan mundur tentara AS dari Irak dalam waktu 18 bulan setelah dilantik dan John McCain yang ingin mempertahankan serdadu AS di sana selama mungkin.

Rakyat AS beruntung karena bisa melihat jelas perbedaan program kedua capres. Obama yang menawarkan penurunan pajak bagi penduduk yang ada di kelas menengah, tetapi mengenakan pajak keuntungan transaksi modal saham (capital gain tax) dibandingkan MacCain yang enggan menurunkan pajak bagi kelas bawah, tetapi akan mengurangi pajak kelompok korporasi besar dengan harapan dapat menstimulasi ekonomi sekaligus menciptakan peluang kerja.

Pemilih AS juga bisa memilih antara kandidat muda yang akan menggunakan soft power dengan jalur diplomasi dalam hubungan luar negerinya untuk mengembalikan kepercayaan dunia dan martabat AS yang hilang di bawah Presiden Bush, dengan McCain yang bila terpilih akan menjadi presiden tertua dalam sejarah AS dan cenderung melindungi AS dengan pendekatan kekuatan dan hard power.

Obama yang mendukung kebebasan untuk aborsi (pro-choice) dan menawarkan kebijakan bantuan kesehatan langsung dari pemerintah serta mewajibkan perusahaan menanggung asuransi kesehatan bagi karyawannya, berbeda dengan McCain yang anti-aborsi dan mengandalkan pelayanan kesehatan kepada pasar dengan memberikan tax credit dan refund terbatas kepada pengguna asuransi kesehatan.

Pelajaran

Kontras dan perbedaan mencolok di antara kedua kandidat itu juga disuguhkan dalam komunikasi politik efektif dengan kemampuan dan artikulasi berpidato yang memukau, seperti tampak dalam Konvensi Partai, debat presiden, dan wakil presiden. Tidak satu pun kandidat gagap saat berhadapan dengan massa. Semua program disampaikan secara terbuka dan penguasaan substansi amat jelas saat diadu berdebat.

Pemilih AS juga beruntung tak akan menghadapi pemilu presiden dalam dua putaran. Mereka tidak akan dibuat bingung menghadapi banyak partai dan capres karena kandidat presiden dan wapres AS hanya dua pasang yang dicalonkan dua partai berbeda. Para capres Amerika yang sudah pernah kalah dan ditolak rakyat dalam pemilu sebelumnya tahu diri dan tidak berambisi maju lagi sehingga kandidat sekarang adalah wajah-wajah baru.

Sikap yang ditunjukkan Hillary Clinton dan suaminya, mantan Presiden Bill Clinton, merupakan pelajaran tersendiri bagi politisi Indonesia. Hillary yang mendapat dukungan popularitas terbanyak dengan 18 juta suara pada tingkat pendahuluan dan kalah pada penghitungan elektorat, meski dia dan pendukungnya kecewa, menunjukkan sportivitas tingkat negarawan sejati. Dengan semangat tinggi, suami-istri itu mengajak seluruh pendukungnya bersatu menjadikan Obama satu-satunya pilihan mereka.

Meski Obama belum tentu meraih kemenangan dalam pemilu nanti, terpilihnya seorang dari kelompok minoritas kulit hitam sebagai calon presiden dari Partai Demokrat telah mengukir sejarah tersendiri dalam kehidupan demokrasi di AS. Bila kelak dia terpilih sebagai presiden, AS akan tercatat dalam sejarah demokrasi modern sebagai negara yang tak mengenal diskriminasi ras dan asal kandidat dalam kehidupan politik. Ini pelajaran bagi kita yang sering berasumsi, hanya orang Jawa yang layak menduduki jabatan politik tertinggi di sini.

Banyak pihak sepakat, siapa pun yang akan menjadi presiden baru AS tidak akan lebih buruk dari presiden sekarang. Kalaupun ada, sisi negatif pemilu itu adalah kecenderungan kampanye negatif, terutama oleh (kandidat) Partai Republik. Kampanye negatif gaya Karl Rove mencuat saat MacCain tidak merasa mengkritik kebijakan lawan, tetapi harus menyerang latar belakang dan kepribadian Obama dalam kampanye dan iklan-iklannya.

Nyaris sama

Akhirnya, betapapun kontrasnya kedua kandidat dalam hampir semua posisi politiknya, dalam satu hal mereka nyaris sama. Kedua kandidat tidak punya keberanian melawan tekanan lobi Israel sebagai kelompok kepentingan yang amat berkuasa di AS. Keduanya sama-sama memberi dukungan tanpa reserve kepada Israel dan berjanji melindunginya dari tiap lawannya.

Obama yang dalam kampanyenya berkali-kali berjanji akan membersihkan Washington dari berbagai kelompok kepentingan yang mengendalikan Pemerintah AS terbukti lebih dulu takluk kepada lobi Israel, bahkan sebelum dia menghuni Gedung Putih.

Abdillah Toha Anggota Komisi I DPR;

Tidak ada komentar: