Minggu, 26 Oktober 2008

Pemilihan Presiden AS

Saleh Umar
Mantan Rektor UI Azzahra dan Dosen HI Unas


Sejarah AS baru saja mencatat bahwa Barrack Obama seorang keturunan Afro-Amerika, calon presiden dari Partai Demokrat memiliki peluang emas menuju Gedung Putih. Di sisi lain, jatuhnya popularitas Presiden George W Bush akibat kemerosotan moneter dan ekonomi AS dalam 10 hari terakhir ikut memengaruhi sekaligus memusingkan kandidat presiden dari Partai Republik, John Mc Cain.

Jajak pendapat umum memperlihatkan krisis moneter dan ekonomi yang luar biasa di AS telah membawa dampak buruk baik nasional maupun global. Tetapi, di sisi lain justru mendongkrak popularitas Barack Obama. Ditambah pula dengan perdebatan calon presiden dan wakil presiden antarkedua kubu, pasangan Obama dan Joe Biden semakin memantapkan posisi dan langkah mereka untuk keluar sebagai pemenang dalam pemilu presiden pada 4 November 2008.

Pandemik krisis moneter dan ekonomi AS yang terus menjalar bagaikan badai yang menerjang seluruh penjuru dunia menuntut upaya perubahan dalam berbagai kebijakan, termasuk institusi internasional. Pertanyaannya, sebagai presiden dan wakil presiden baru AS, mampukah Barack Obama dan Joe Biden menggiring kebijakan luar negeri AS dari arah unilateral ke multilateral?

Unilateral
Sejak berakhirnya Perang Dunia II dan runtuhnya Perang Dingin 1989, AS dikenal sebagai negara pemegang hegemoni dan dominasi dunia. Terminologi sejarah mencatat momen ini telah berakhir, khususnya dalam dua dekade belakangan ini.

Terdapat tiga alasan. Pertama, AS mendapatkan keuntungan melalui generasi manusia yang inovatif, keuangan, dan sumber teknologi yang mengarah pada produktivitas. AS juga mengembangkan institusi, perusahaan, dan organisasi lainnya. AS mendapat kehormatan sebagai pemimpin negara-negara kapitalis liberal dan didukung negara-negara maju Eropa Barat, Jepang, serta negara-negara lain yang menentang komunisme Uni Soviet.

Runtuhnya komunisme, musuh bersama AS, Eropa, dan Jepang, mengubah dan mulai memberikan fokus terhadap kepentingan nasional dan wilayah regionalnya. Sebagai hasilnya, jumlah besar dari aktor negara lain juga ingin memperluas pengaruhnya secara regional ataupun global. Ini mengakibatkan meningkatnya kekuatan baru yang tidak dapat dihentikan.

Kedua, perang Irak berkontribusi menjatuhkan posisi AS di kalangan nasional maupun internasional. Konflik ini membuktikan perang menjadi sangat mahal. Setahun lalu sejarawan Paul Kennedy memberikan garis besar dalam tesisnya tentang Imperial Overstrech yang menerima kenyataan bahwa AS mengalami kemunduran oleh overreaching, seperti yang pernah terjadi pada kerajaan besar sebelumnya.

Kegagalan dalam kebijakan unilateral menyebabkan para arsitek dan pemain perang Irak menghilang satu demi satu. Terakhir Scott Mc Clellan, seorang pejabat dan juru bicara di Gedung Putih, mulai membuka suara. Buku barunya terbitan April 2008 berjudul 'What happened: inside the Bush White House and Washington's Culture of Deception', menyebutkan dia merasa bersalah karena membohongi rakyat AS.

Perasaan ini muncul karena harus berada di garis depan dan membela mati-matian kebijakan unilateral yang direkayasa oleh tim Presiden untuk mencari dukungan rakyat. Jajak pendapat umum terakhir tahun 2008 menunjukkan popularitas Presiden Bush begitu merosot menjadi 28 persen. Oleh sebab itu, perang Irak mungkin telah menguburkan kelompok neokonservatif.

Alasan ketiga, telah berakhirnya unilateral tentu saja perlu adanya suatu koreksi terhadap yang telah dilakukan dan apa yang telah gagal dilakukan. AS telah mengembangkan kebangkitan kekuatan tengah baru dan melemahkan dirinya pada posisi yang relatif.

Sebagai contoh, konsumsi bahan bakar telah tumbuh mencapai 20 persen dan lebih penting impor. Produksi minyak AS melebihi dua kali lipat sebagai suatu persentase konsumsi.

Pertumbuhan impor melalui permintaan minyak asing mendorong harga minyak dari 20 dolar AS per barel hingga menjadi lebih dari 100 dolar AS barel. Globalisasi di sisi lain telah meningkatkan volume, kecepatan, dan kepentingan mengalirnya lintas batas apa saja serta berada di luar kontrol pemerintah. Globalisasi pun mengencerkan pengaruh negara-negara kuat Eropa Barat dan Jepang termasuk AS.

Agenda kebijakan luar negeri yang bersifat unilateral ini diadopsi oleh kebijakan luar negeri Pemerintahan George W Bush. Namun, Barack Obama beserta penasihatnya dan beberapa pakar luar negerinya menilai kebijakan selama ini salah langkah, buruk, dan mahal. Terbukti telah membawa dampak negatif terhadap citra dan prestise AS.

Meskipun diakui, peristiwa pengeboman WTC 9/11 2001 mengubah hampir semua kebijakan politik luar negeri dan keamanan, peristiwa ini tidak mengubah konstitusi AS. Berbagai kebijakan garis keras yang keluar dan diambil, tercatat gerakan terorisme melawan AS, misalnya Alqaidah serta organisasi lainnya masih terus menghantui negara ini. Sikap AS sebagai polisi dunia dinilai sebagai arogansi yang mengakibatkan AS telah mulai kehilangan banyak sekutunya.

Mendiang presiden Dwight David Eisenhower sebelumnya telah mengkhawatirkan terjadi perubahan dalam politik luar negeri AS dari republik menjadi semacam kerajaan. Posisi presiden sebagai seorang raja dalam menjalankan politik luar negeri otomatis akan bermunculan kompleks industri militer.

Fenomena ini dijadikan logika perluasan kebijakan luar negeri dan keamanan AS untuk intervensi. Meskipun terpecahnya Uni Soviet dan berakhirnya perang dingin, kompleks industri militer telah mendapatkan lahan baru dengan alasan terorisme.

Multilateral
Bila strategi kebijakan luar negeri Presiden AS saat ini telah dianggap cacat ataupun keliru maka kandidat presiden, penasihatnya, serta pembuat kebijakan luar negerinya harus berkompetisi mencari dan menghasilkan agenda baru. Pertarungan menuju Gedung Putih merupakan insentif menemukan doktrin baru.

Mungkin selama jangka waktu 200 tahun terakhir AS membutuhkan suatu doktrin baru. Menglobalisasinya demokrasi dan hak-hak asasi manusia telah dikalahkan oleh kepentingan ekonomi.

Perubahan dalam sistem internasional oleh adanya perkembangan perekonomian Rusia dan Cina yang menguat kembali, secara otomatis mengangkat prestise mereka dalam arena internasional. Barack Obama menjadi fiksi, sebagai politisi berkulit hitam yang tangguh, cerdas, dan andal membutuhkan solusi di atas kepentingan domestik ke arah kebijakan luar negeri dan keamanan yang akan beralih dari unilateral ke arah multilateral.

Kebijakan multilateral bagi negara seperti AS menjadi dilema. Pengalaman di PBB menjadikannya frustrasi. Ditambah dengan pernah menghadapi veto Rusia dan Cina di Dewan Keamanan PBB pada masa Presiden Bill Clinton dalam kasus Kosovo.

Misi dan visi AS selama ini dengan dan atau melalui penyebaran berbagai nilai yang dianutnya sering bertentangan dengan substansi multilateral. Mungkin baik apabila pejabat di Washington dan di negara Barat umumnya menerima bahwa abad hegemoni dan dominasi AS telah berakhir. Dengan demikian, pemerintahan yang akan datang tidak lagi diganggu oleh ide organisasi baru dunia internasional.

Membuat dunia menjadi lebih aman atas nama kerja sama multilateral, tentu saja ada untung ruginya. Mempromosikan demokrasi dan hak-hak asasi manusia sebagai tujuan akan menjadi lebih efektif jika dibarengi oleh satu pandangan yang lebih diperhalus dalam implementasinya.

Bagi PBB, sebagai satu-satunya institusi multilateral, sulit menerima ide senator Mc Cain, calon presiden dari Partai Republik. Bagaimana pun juga lembaga global lain yang murni belum tentu mampu menawarkan pengaruh AS.

Di sisi lain institusi PBB ini juga dibangun oleh AS. Jika nilai AS dianggap bisa berhasil, harapannya bekerja di atas mekanisme kerangka-kerja institusi ini. Memperbaiki sekaligus mengubah memang sulit, tetapi untuk menggantikannya tidak mungkin. Harapan akan perubahan ini mungkin diletakkan di bahu Barack Obama bila telah menjadi presiden AS yang ke 44.

Ikhtisar:
- Pertarungan menuju Gedung Putih merupakan insentif menemukan doktrin baru.
- Kegagalan presiden dari Partai Republik cukup mendongkrak popularitas Barack Obama.

Tidak ada komentar: