Senin, 08 September 2008

Krisis Politik di Thailand

Pertarungan Kelompok Pro dan Antidemokrasi
Senin, 8 September 2008 | 03:00 WIB 

Maruli Tobing

Beruntung kita di Indonesia berhasil melakukan konsolidasi demokrasi berikut mekanisme menyelesaikan konflik. Di Thailand, bencana kini kembali menghadang demokrasi. Setelah berhasil menciptakan krisis politik yang mengundang kudeta militer 2006, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi atau PAD kembali melakukan aksi provokasinya.

Kali ini lebih dari 5.000 orang dari kelompok antipemerintah merobohkan pintu pagar kantor perdana menteri dan mendirikan tenda-tenda di halaman gedung, 26 Agustus lalu. Dalam sekejap kantor perdana menteri (PM) berubah mirip kamp pengungsi. Massa PAD juga berkemah di departemen keuangan, perhubungan, dan stasiun televisi pemerintah.

Peristiwa ini merupakan klimaks aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan PAD sejak Mei lalu. Pemimpin PAD, pengusaha media massa Sondhi Limthongkul, dan mantan Gubernur Bangkok Mayjen (Purn) Chamlong Srimuang, bertekad akan tetap bertahan di lokasi tersebut hingga PM Samak Sundaravej mundur.

Tiga hari setelah ”pendudukan’’ tersebut, pengadilan Thailand mengeluarkan surat perintah penangkapan sembilan pentolan PAD, termasuk Sondhi dan Chamlong. Mereka dituduh makar dan mengkhianati negara.

Namun, kedua pimpinan PAD ini dengan nada garang malah menantang aparat keamanan agar menangkapnya. Esok harinya, pengadilan menangguhkan surat perintah penangkapan tersebut.

Manuver yang dilakukan PAD menyebabkan lumpuhnya pemerintahan PM Samak. Ironisnya, PM Samak yang terpilih secara demokratis oleh parlemen hasil pemilu Desember lalu, kini dianggap angin lalu.

Militer dan polisi yang bertanggung jawab atas masalah keamanan, misalnya, menolak menghentikan unjuk rasa PAD yang mencerca Samak sebagai boneka mantan PM Thaksin Shinawatra. Militer berpendapat, unjuk rasa merupakan bagian dari proses demokrasi.

Sikap yang sama juga muncul ketika massa PAD ”menduduki’’ kawasan kantor PM. Kepala Staf AD Jenderal Anupong Paochinda mengatakan, masalah politik hanya dapat diselesaikan lewat proses politik. Orang nomor satu dalam militer ini malah menyarankan PM Samak agar mengundurkan diri demi mendinginkan keadaan (The Nation, 2/9).

Thitinan Pongsudirak, Direktur Institute of Security and International Studies, Chullalongkorm University, menulis di surat kabar Bangkok Post (1/9), aksi-aksi PAD merupakan tirani minoritas. Di negara-negara beradab, aparat penegak hukum akan menindak siapa saja yang menduduki kantor-kantor pemerintah.

Dalam situasi genting seperti ini, polisi tidak akan bertindak sebelum militer memberi lampu hijau. Di Thailand, akibat kerapnya terjadi kudeta, institusi militer menjadi sangat menentukan dalam percaturan politik. Maka, mayoritas PM Thailand berasal dari kalangan militer aktif maupun non-aktif. PM Samak sendiri adalah purnawirawan perwira tinggi.

Lantas, mengapa PAD menuntut PM Samak harus mundur?

Lingkungan kerajaan

Krisis politik yang terjadi saat ini bukanlah produk aksi unjuk rasa, melainkan pertarungan kekuatan pro dan antidemokrasi. Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) adalah alat politik gabungan kelompok militer kanan, pengusaha di lingkungan kerajaan, dan kelas menengah di Bangkok.

Warna kuning yang dikenakan pendukung PAD menunjukkan bahwa mereka loyalis kerajaan. Keterlibatan lingkungan kerajaan menjadi jelas ketika terjadi bentrokan kecil antara polisi dan pengunjuk rasa. Ratu Serikit menyatakan keprihatinannya dan meminta Palang Merah dan kerajaan mempersiapkan lebih banyak ambulans, tenaga medis, berikut puluhan telepon satelit, untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.

Dengan mengusung simbol kesetiaan pada kerajaan, aksi-aksi PAD berada pada jalur bebas hambatan, termasuk dalam logistik dan pendanaannya.

Sulit membayangkan besarnya dana yang dihabiskan untuk mengerahkan ribuan orang setiap hari untuk berunjuk rasa. Pada saat tertentu, jumlah pengunjuk rasa bahkan mencapai 30.000 sampai 40.000 orang. Sebagian dari mereka didatangkan dari luar kota. Keadaan seperti ini berlangsung selama lebih dari 100 hari tanpa libur.

Dalam laporannya mengenai peringkat raja terkaya di dunia, majalah Forbes (22/8) mencatat Bhumibol Adulyadej (81) dari Thailand sebagai raja terkaya di dunia. Kekayaannya mencapai 35 miliar dollar AS.

Urutan kedua Sheikh Khalifa Bin Zayed Al Nahyan (60) dari Abu Dhabi dengan kekayaan 23 miliar dollar; urutan ketiga Raja Abdullah bin Abdul Aziz (84) dari Arab Saudi dengan kekayaan 21 miliar dollar AS. Sultan Haji Hassanal Bolkiah (62) dari Brunei Darussalam berada di urutan keempat (20 miliar dollar AS).

Apa yang mendorong PAD menciptakan krisis politik dan menuntut mundurnya PM Thaksin tahun 2006 maupun PM Samak akhir-akhir ini bukanlah keinginan bagi terbentuknya pemerintahan yang bersih dan transparan. Sebab, junta militer yang didukung PAD menggulingkan PM Thaksin jauh lebih korup dalam menguras dana-dana BUMN maupun dana rahasia lainnya.

PAD tidak pernah mempersoalkan hal itu. Bahkan tidak mempersoalkan legalitas komisi antikorupsi bentukan junta maupun konstitusi yang disusun junta. Padahal, status hukum junta itu sendiri ilegal. Arsitek kudeta 2006 adalah Presiden Dewan Penasihat Kerajaan, mantan PM Prem Tinsulanonda.

Setelah melancarkan kudeta (19/9/2006), junta membubarkan parlemen dan membatalkan konstitusi 1997 yang dianggap paling demokratis dalam sejarah Thailand. Sebagai gantinya, junta menyusun konstitusi yang memberi peranan besar bagi militer dan membatasi kekuasaan sipil.

Namun, ketika Mei lalu parlemen hasil pemilu Desember 2007 bermaksud mengusulkan amandemen konstitusi produk kudeta militer tersebut, PAD langsung bereaksi dengan mengerahkan massa untuk berunjuk rasa memprotesnya.

Akan tetapi, baik Thaksin maupun Samak hanyalah target antara. PAD mempunyai agenda tersembunyi yang baru-baru ini mulai dibuka kepada publik, yakni menolak sistem demokrasi setiap orang mempunyai satu suara. PAD menginginkan 70 persen anggota parlemen ditunjuk dan 30 persen dipilih.

Alasannya, selama ini kalangan petani di pedesaan tidak mengerti soal pemilu. Suara mereka kemudian dijual. Maka, pemilu demikian tidak akan pernah membawa perbaikan, kecuali pemerintahan yang korup.

Jalan tengah

Jumat (29/8), polisi mencoba mengusir ribuan orang yang berkemah di kawasan kantor PM. Sempat terjadi bentrokan kecil. Namun, polisi memilih mundur dari lokasi tersebut karena memang tidak bertindak serius. Alhasil, Kepala Kepolisian Thailand Jenderal Patcharawat Wongsuwan mencopot Kepala Polda Bangkok Aswin Kwanmuang pada 31 Agustus.

Selasa (2/9) dini hari, terjadi bentrokan antara ratusan orang pendukung pemerintah, Persatuan Demokrasi Melawan Kediktatoran di Thailand, dan massa PAD. Peristiwa ini menewaskan satu warga PAD dan 44 lainnya cedera.

Beberapa jam kemudian PM Samak memberlakukan keadaan darurat di kota Bangkok. Isinya, antara lain, berkumpul lebih dari lima orang harus mendapat izin dari aparat yang berwenang. Dengan ketentuan ini, Samak berharap kawasan kantornya akan dapat dibersihkan dari massa PAD. Sebagai pelaksana keadaan darurat ditunjuk Jenderal Anupong.

Perkiraan PM Samak ternyata keliru. PAD bertekad mempertahankan sekitar 5.000 orang yang berkemah di halaman kantor PM. Selasa sore, jumlahnya malah makin bertambah.

Jenderal Anupong menyatakan melalui siaran televisi, ia tidak akan menggunakan kekerasan untuk membubarkan massa. Untuk itu, tentara yang diturunkan hanya dilengkapi dengan perisai dan tongkat bambu.

Anupong kembali menegaskan, militer tak akan melakukan kudeta. Dengan kata lain, jika PAD berhasil menciptakan krisis politik yang mengundang kudeta militer tahun 2006, kali ini harapan tersebut tertutup.

Samak sendiri mengulangi pernyataannya tidak akan mengundurkan diri hanya karena tekanan gerombolan pengunjuk rasa. Koalisi lima partai yang menguasai mayoritas kursi parlemen, kemarin, kembali menyatakan dukungannya kepada PM Samak.

Situasinya kemudian menjadi buntu karena PAD sendiri tidak mempunyai legitimasi untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Sebaliknya jika mundur, pimpinan PAD akan menghadapi tuduhan makar. Jenderal Anupong dikabarkan sedang mengupayakan jalan tengah bagi penyelesaian krisis politik yang menguras tenaga dan perhatian bangsa itu.

 

Tidak ada komentar: