Senin, 08 September 2008

Suara, Senjata, dan Singgasana (Tahiland)

Senin, 8 September 2008 | 00:23 WIB Kompas

Kusnanto Anggoro

Nasib demokrasi Thailand memang buruk. Pendulum bergerak tajam. Tirani mayoritas atas minoritas amat kuat.

Perdana Menteri Samak Sundaravej —seperti pendahulunya, termasuk Thaksin Shinawatra—dikungkung korupsi. Sa- mak menjadi PM setelah partainya, Partai Kekuatan Rakyat (PPP), memenangi pemilu akhir tahun lalu melalui politik uang. Namun, kelompok Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) keliru saat menggunakan aneka keburukan itu untuk menumbangkan demokrasi mayoritas.

Janggal

Sebagian besar rakyat Thailand tidak mendukung aksi anarki PAD meski 65,1 persen rakyat—menurut survei—mengharapkan pergantian pemerintahan. Berbeda dengan gerakan mahasiswa 1970-an dan 1990-an, demonstrasi PAD kali ini janggal. Sebagian besar demonstran adalah pengusaha kecil dan menengah, pensiunan, yang secara emosional sudah mapan dan tidak dalam usia pencarian diri. Platform PAD ingin mengembalikan kekuasaan oligarki. Hanya 30 persen anggota parlemen dirancang untuk dipilih melalui proses demokratis, sisanya penunjukan dan perwakilan ”komponen bangsa”. Mereka lebih sering mencitrakan kelompok fasis ortodoks daripada demokrat progresif.

Diperkirakan, dalam waktu dekat akan makin banyak warga Thailand turun ke jalan. Sawit Kaewwan, Sekretaris Jenderal Konfederasi Buruh BUMN, merencanakan pemogokan yang didukung 43 serikat buruh, lebih dari 200.000 anggota. Mereka mengancam akan memutus pasokan air dan listrik ke kantor pemerintah dan kepolisian. Ini akan diikuti pemutusan saluran telepon ke kantor pemerintah dan rumah-rumah menteri. Sebanyak 80 persen pengemudi bus di Bangkok juga akan mogok. Jika itu terjadi, Bangkok lumpuh.

Namun, yang menarik bukan jumlah buruh yang akan turun ke jalan, tetapi apa yang akan mereka lakukan. Kantor PM, rumah pejabat, dan kantor polisi adalah lambang kuasa negara, yang justru sering menjadi pelaku utama ketidakadilan. Sawit Kaewwan tidak sedang mendukung anarkisme PAD, tetapi menampilkan suara rakyat atas kegagalan demokrasi liberal.

Barangkali ”kearifan” seperti itulah yang menyebabkan polisi tidak terlalu mengandalkan kekerasan dibanding saat menghadapi demonstrasi tahun 1970 dan 1990-an. Bahkan, tentara menolak keputusan PM Samak yang memberlakukan keadaan darurat. Kepala Staf AD Jenderal Anupong Paochinda berjanji tidak akan menggunakan kekerasan terhadap demonstran dan mendesak PM untuk mencari penyelesaian politik. Tentara agaknya masih bisa menerima pemimpin sipil.

Wibawa

Dalam tradisi Buddhisme, seperti di Thailand, wibawa muncul dari kebersihan nurani, pengorbanan bagi yang menderita, dan mampu mengekang diri. Wibawa adalah kemampuan yang tidak boleh dibangun, dipelihara, dan ditegakkan dengan kekuatan, baik bersumber kekuatan suara (ballot) maupun senjata (bullet). Wibawa memancar dari keutamaan moral, mengambil jarak dari kuasa dunia, dan membangun keadilan dan kesejahteraan.

Wibawa seperti itu hanya dimiliki Raja Bhumibol Adulyadej. Kemampuannya teruji, pada saat sama mengambil jarak antara kekuasaan duniawi dan kewenangan nurani. Menurut mantan PM Anand Panyarachun, Raja Bhumibol adalah persona kekuatan yang sanggup mengambil jarak dan menggunakannya tanpa pamrih.

Sebaliknya, silih ganti pemerintahan, melalui kudeta militer atau pemilu, tidak banyak menghiasi singgasana dengan wibawa kearifan demokrasi: kedekatan penguasa-rakyat, kekuatan-kekuasaan, dan kekuasaan-kearifan. Dalam sebagian besar kasus di Thailand, partai hanya kendaraan untuk menangguk kuasa dan harta. Kecanggungan Ketua Partai Chart Thai Banharn Silpa-Archa untuk mendukung atau menolak kepemimpinan PM Samak tidak lebih dari menunggu situasi lebih buruk. Antusiasme Partai Demokrat mendukung demonstrasi PAD tidak lebih dari upaya mengangkat popularitas untuk pemilu tahun depan.

Tentara tetap memainkan peran penting dalam sistem politik Thailand. Namun, kekuatan itu harus digunakan dengan tulus. Dalam tradisi Ayuthya—Thailand pada masa lalu—tentara memainkan peran itu dengan baik. Senjata tak lebih dari lambang kuasa, tidak boleh digunakan untuk memerkosa kuasa itu sendiri. Keperwiraan tentara adalah saat mereka menunjukkan kegagahan, bukan kegarangan.

Tentara Thailand telah 17 kali mengambil alih kekuasaan, terakhir menggusur PM Thaksin. Tidak satu pun dari kudeta itu membuahkan budaya kearifan baru. Maka, tidak mungkin mengharap kudeta sebagai sarana membangun demokrasi. Tentara tidak dibangun untuk merumuskan demokrasi, tetapi untuk mempertahankan demokrasi. Kalaupun pamor itu pernah muncul, tetap dalam sosok sipil, seperti saat PM Anand Panyarachun mengakhiri pemerintahan (militer) Suchinda Kraprayoon pada awal 1990-an.

Jika tentara kudeta

Kini, demonstrasi di Bangkok harus ditafsirkan ”sekadar” gugatan terhadap merebaknya korupsi, kesewenangan penguasa, keangkuhan singgasana. Demonstrasi itu bukan gugatan terhadap demokrasi, yang hanya bisa dibangun dengan kesabaran dan tanpa lelah. Di tengah kesabaran itu, PAD dan pemerintahan Samak harus dipandang tak lebih dari pertempuran tirani minoritas versus mayoritas, bukan demokrasi lawan rezim otoriter.

Singgasana demokrasi tak dapat dibangun hanya dengan mayoritas suara dan kuasa senjata. Tentara Thailand harus mengingat tradisi ”manunggaling perwira-rakyat” pada masa Ayuthya. Jika tentara melakukan kudeta, akhir tahun ini diplomat Thailand akan canggung sebagai tuan rumah KTT ASEAN, yang akan mengukuhkan Piagam ASEAN, dan salah satu pasalnya menolak pergantian pemerintahan dengan cara nondemokratis.

Tak ada solusi terbaik bagi Thailand. Namun, pengunduran diri PM Samak bisa mengurangi kekalutan yang bakal terjadi.

Kusnanto Anggoro Institute of Defence and Security Studies, Jakarta

 

Tidak ada komentar: